Kini ruang di rumah berdinding bata expose itu terkadang tak lagi sepi, suara tangisan bayi kerap terdengar menggema dari dalam rumah. Tono membuatkan kalung dengan untaian dari kayu berbentuk persegi yang di tengahnya diukir huruf T, menandakan inisial Tangguh. Ia memakaikan kalung itu pada anaknya yang baru lahir, ia merasa amat bahagia dengan kelahiran anak pertamanya itu. Tapi saking bahagianya akan kehadiran sang bayi, Tini dan Tono baru menyadari kalau beberapa hari yang lalu mereka belum membayar biaya kelahiran anaknya pada dukun beranak.
Di siang harinya, Sartono pergi berjalan kaki ke rumah dukun beranak itu untuk membayar biaya kelahiran anak pertamanya.
Di depan tempat praktek dukun beranak itu ia merasa heran, kini di tempat itu sepi sekali, padahal seharusnya hari ini dukun itu buka praktek. Papan nama yang ada di depan rumah si dukun beranak itu terlihat telah tumbang, tak lagi berdiri tegak. Pintu rumah dan jendela kayu pun tertutup rapat. Tono mengetuk–ngetuk pintu rumahnya, namun kali ini tak memakai batu sebesar bola softball. Ia terus mengetuknya, tapi tak juga ada yang membuka pintu. Sempat ia melihat ke bawah, di depan teras ada batu sebesar bola softball yang ia pakai untuk mengetuk pintu itu tempo hari. Namun niat untuk mengambil batu itu ia urungkan setelah mengingat kening dukun beranak yang benjol gara-gara batu itu. Walaupun merasa bersalah, ia tetap tertawa geli dalam hatinya ketika mengingat hal itu.
Ia pun berjalan pulang. Namun Tono masih bingung, kemana kira-kira perginya dukun beranak itu. “Apakah dia trauma menjadi dukun beranak karena kejadian kemarin?” pikirnya. “Apakah ia sudah tidak menjadi dukun beranak dan berubah menjadi bakso beranak? Ah, tidak mungkin,” pikirnya lagi.
Saat berjalan pulang, tak jauh dari tempat dukun beranak itu, Tono melihat seseorang yang sedang memotong rumput di tepi jalan. Kemudian Tono bertanya padanya, “Mas ... mas, apa mas tau dukun beranak itu kemana, ya? Kok, saya kesana nggak ada?” tanya Tono menunjuk ke arah rumah dukun beranak itu.
“Oooh.... Mbo Parti, dari tadi pagi dia udah pergi. Katanya mau nerusin kuliah lagi ngambil program studi dukun santet. Katanya dia trauma jadi dukun beranak,” jawab si pemotong rumput itu.
Mendengar jawaban itu, Tono merasa aneh dan merapatkan kedua alisnya, tapi ia juga berpikir, “Apakah memang benar ia trauma gara–gara kejadian kemarin? Ah, ya sudahlah.” Ia kembali ke rumahnya dengan perasaan kurang tenang karena utangnya belum dibayar.
Tapi bukan Tono saja yang merasa tak tenang, tentunya Mbo Parti, si dukun beranak, lebih tak tenang lagi. Sejak pagi-pagi sekali ia pergi membawa gembolan berisi barang-barangnya yang dianggap penting. Di depan rumahnya ia sengaja merobohkan papan nama itu sebelum pergi saking kesalnya dengan kejadian kemarin. Dengan dahi benjol besar dan lebam di pipi, ia berjalan dan bertekad untuk meneruskan kuliah fakultas kedukunan. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi dukun sakti, tak akan pernah lagi menjadi dukun beranak. Ia pun pergi menaiki perahu nelayan yang diparkir di tepi pantai tanpa sepengetahuan si pemilik perahu.
***
Sebelum Tono datang, Tini terkaget–kaget ketika ia ke kamar untuk melihat anaknya. Pasalnya ia melihat sesuatu yang tak wajar, anaknya yang umurnya belum sebulan sudah bisa berjalan sendiri di kamarnya..
Sartono pun tiba di rumah, langsung saja Tini memberitahukan suaminya tentang apa yang terjadi, “Mas ... Mas ... Mas Dalmin ... eh... Mas Tono...!!!!” ia memanggil suaminya dengan panik.
“Iya, ada apa, Tin? memangnya ada apa sih, kamu keliatanya panik?” sahut Tono.
“Mas tau gak, sih. . . anak kita Mas. . . .anak kita!!!”