Waktu bergulir begitu cepat. Kini Tangguh Perkasa sudah berusia 6 setengah tahun. Ia sudah mulai duduk di bangku sekolah, tepatnya di SD Harapan Bangsa, sebuah sekolah sederhana di desa Pasirputih yang berjarak cukup jauh dari rumahnya. Ia harus berjalan kaki menelusuri jalan berliku dan pepohonan untuk mencapai sekolah. Untuk anak kecil yang berbadan kurus, perjalanan itu amat berat, tapi tetap tak menyurutkan niatnya untuk mengenyam pendidikan. Ia sadar, perjuangan ayahnya yang harus menggoes sepeda puluhan kilometer jauh lebih berat.
Sekolah itu tak ubahnya seperti bangunan yang telah terkena gempa 5 skala richter. Beberapa bagian dindingnya telah keropos, beberapa sisi jendelanya tanpa kaca, hanya kusen yang melompong. Sementara plafondnya banyak berlubang, yang saat pelajaran berlangsung, terkadang tikus-tikus mengintip dari atas seolah ikut menyimak pelajaran. Atapnya pun bocor di beberapa bagian. Maka ketika hujan turun, beberapa murid repot menggeser mejanya karena air menetes dari atasnya.
Di hari pertama sekolah, Tangguh duduk di bangku pojok paling belakang di sudut ruangan kelas. Kepalanya hanya menunduk, tak sepatah kata pun terucap dari bibirnya. Ia masih merasa malu dan minder dengan badannya yang kurus. Ia merasa malu untuk bergaul dengan teman-teman barunya.
Di saat murid lainnya aktif menyimak pelajaran dari guru, di saat murid lainnya berceloteh dan bermain bersama ketika jam istirahat, ia hanya murung sendiri, duduk terpaku di pojok kelas atau kadang di bawah pohon yang rindang di halaman sekolah. Tak sepercik tawa pun keluar dari mulutnya, tak seutas senyum pun terpancar dari lengkung bibirnya, tak sekalipun ia bermain dan berceloteh dengan teman-teman sekolahnya.
Mengetahui hal itu, ibunya merasa iba. Karena si ibu percaya bahwa anaknya adalah anak yang luar biasa, karena itu ia dinamakan Tangguh Perkasa.
“Nak, tunjukkanlah bahwa kamu anak yang luar biasa dan patut dibanggakan,” ucap sang ibu pada Tangguh seraya memegang kedua pundaknya.
Mendengar ucapan ibunya, Tangguh hanya diam dan menunduk lesu. Lalu ia memikirkan perjuangan ayah dan ibunya. Ayahnya yang selalu bekerja dari pagi hingga petang untuk mencari nafkah, menggoes sepedanya puluhan kilometer jauhnya dan berdiri sepanjang hari di pabrik. Pastilah tak terbayangkan betapa pegal kakinya setiap hari. Namun tak sekalipun ayahnya terlihat lelah. Bahkan dengan gaji di bawah UMR ia sama sekali tak mengeluh untuk pekerjaan yang berat itu. Ia tak mau merepotkan Tini dan Tangguh. Ketika kakinya amat pegal, ia hanya memijat-mijat kakinya sendiri tanpa memperlihatkan rasa pegal itu pada Tangguh dan ibunya.
Sementara ibunya selalu memberi kasih sayang, yang terkadang juga ikut mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ibunya berkeliling kampung menawarkan jasa cuci baju keliling. Namun sulit baginya mencari orang yang mau menggunakan jasanya karena rata-rata warga desa itu juga miskin. Jikapun ada, maka bayarannya amatlah kecil. Bahkan pernah suatu ketika ibunya bekerja mencuci baju dari pagi hingga sore, namun ia hanya membawa pulang Kapten Patimura. Ya, hanya seribu rupiah, tak lebih.
Tangguh menitikkan air mata ketika mengingat itu. Kemudian ia mengepalkan tangannya kuat-kuat, bertekad untuk menjadi murid yang rajin belajar dan ingin menjadi yang terbaik, juga mampu bergaul dengan teman-teman sebayanya. Namun rasa minder yang berkecamuk dalam batinnya seolah menjadi batu penghalang.