Tanggung Jawab Pemimpin Muslim

Bentang Pustaka
Chapter #1

Sepatah kata

“Wahai Amir Al-Mukminin,” pesan seorang Tuan Guru kepada Abu Ja‘far Al-Manshur, penguasa ke-2 Dinasti ‘Abbasiyyah di Irak, “Hendaklah engkau senantiasa bersikap lapang dada karena sikap yang demikian itu merupakan fondasi ilmu. Kendalikanlah dirimu manakala engkau sedang memegang tampuk kekuasaan. Sebab, dengan mengendalikan diri kala berkuasa, engkau laksana orang yang kuasa menyembuhkan amarah yang membara atau dengki yang tidak terkira. Ketahuilah, manakala engkau menetapkan suatu hukuman dengan pijakan yang benar, hendaklah tujuannya adalah untuk menegakkan keadilan. Juga, ketahuilah, keadaan yang mengharuskan bersyukur lebih utama ketimbang keadaan yang mengharuskan bersabar.”

Ja‘far Al-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir

Seorang Ulama Terkemuka dari Madinah Al-Munawwarah

17 Rabî‘ul Awwal 82 H/1 Mei 701 M−25 Syawwâl 148 H/13 Desember 765 M

Bismillâhirrahmânirrahîm.

Hari itu, tepatnya pada Jumat, 10 Jumâdil Âkhirah 640 H/5 Desember 1242 M, Kota Bagdad Dar Al-Salam1 sedang bermuram durja. Seorang penguasa yang kala itu sedang memerintah, Al-Musthansir Billah, telah berpulang. Penguasa ke-36 Dinasti ‘Abbasiyyah2 di Irak itu bernama lengkap Abu Ja‘far Manshur bin Al-Zhahir bi Amrillah. Lahir pada Shafar 588 H/Maret 1192 M dan naik takhta pada Rajab 623 H/Juli 1226 M. Selepas menjadi penguasa, dia bergelar Al-Mustanshir Billah. Dia terkenal dengan keadilannya dan memiliki hubungan yang erat dengan para ilmuwan dan cendekiawan. Karena sikapnya yang tegas dan berani, musuh pun segan terhadapnya. Tidak aneh, kepulangannya membuat Kota Bagdad Dar Al-Salam berpayung mendung.

Takhta Al-Mustanshir kemudian digantikan oleh salah seorang putranya, Abu Ahmad ‘Abdullah bin Al-Musta‘shim bin Al-Mustanshir Billah, seorang pemimpin baru yang dikenal lemah. Malangnya, pemimpin bergelar Al-Mu‘tashim Billah ini rupanya menjadi penguasa terakhir dari Dinasti ‘Abbasiyyah. Dia menyaksikan sendiri keruntuhan Bagdad, pusat kebudayaan Islam dan dunia.

Ketika itu, negeri-negeri di Asia Tengah sedang gentar. Mereka takut akan pasukan berkuda yang sangat kuat dan cepat laksana air bah: sekumpulan prajurit yang tidak mengenal perikemanusiaan, pasukan Tartar. Setiap negeri yang berhasil mereka jajah, tak lagi mengenal kedamaian dan kesejahteraan sesudahnya.

Pada 615 H/1218 M, lebih dari satu juta pasukan berkuda itu melabrak dan melibas kawasan-kawasan Transoxiana, Khurasan, dan Persia. Dua tahun berselang, Urganj pun diserbu. Dam-dam Oxus dibobol. Bumi hangus dan massacre mewarnai kota itu. Di Nessa, tanpa ampun mereka memanggang sekitar 70.000 ribu anak manusia. Nishapur3, ibu kota Dinasti Thahiriyyah4, menerima gilirannya pada Shafar 618 H/April 1221 M. Kota itu digilas dan diratakan dengan tanah. Kemudian, seluruh kota tersebut dibakar dengan onggokan jerami. “Pesta api yang membakar kota itu menelan korban ‘hanya’ sekitar 1.700.000 orang,” catat Mirkhond, seorang sejarawan yang mengikuti gerak pasukan itu. Tak berhenti sampai di sana, pasukan tersebut terus menuju Herat. Pembantaian manusia pun terulang kembali. Sekitar 1.600.000 jiwa terbunuh.

Lihat selengkapnya