Hati ‘Abdul Malik bin Marwan sedang dilanda gembira karena Allah Swt. masih mengaruniakan kepadanya kesempatan berziarah ke Madinah Al-Munawwarah, bumi kelahirannya, dalam perjalanan untuk menunaikan ibadah haji di Mekah Al-Mukarramah. Oleh karena itu, setiba di Kota Madinah Al-Munawwarah, dia pun segera berkeliling di seputar kota yang banyak meninggalkan kenangan indah baginya, semenjak lahir hingga remaja. Di Kota Nabi itu pulalah dia menimba ilmu dari sejumlah ulama ternama pada masanya.
Seusai menikmati perjalanan di seputar Kota Nabi, pemimpin yang juga seorang faqih1 itu langsung menuju ke Masjid Nabawi. Ketika berada di masjid yang didirikan Rasulullah Saw., dia lantas berucap kepada para bawahannya, “Bawa Sa‘id bin Al-Musayyab menghadap ke sini!”
Perintah tersebut muncul karena ‘Abdul Malik bin Marwan sedang merasa jengkel dan marah karena Sa‘id bin Al-Musayyab tidak kunjung menyatakan sumpah setia kepadanya. Tentu, sumpah itu penting baginya, apalagi, dari seorang ulama yang diperhitungkan.
Ulama yang berani menentang para penguasa Dinasti Umawiyyah itu tidak lain adalah seorang tâbi‘î yang terkenal sebagai seorang ahli hadis dan pakar fikih. Dia bernama lengkap Abu Muhammad Sa‘id bin Al-Musayyab bin Hazn Al-Makhzumi, seorang di antara tujuh faqih terkemuka Madinah pada abad ke-1 H/7 M yang lahir di Kota Nabi pada 13 H/634 M. Di kota itu pulalah Sa‘id bin Al-Musayyab menerima hadis dari sejumlah sahabat, antara lain dari Sa‘d bin Abu Waqqash dan Abu Hurairah. Sementara yang menerima hadis darinya, antara lain adalah Al-Zuhri dan Makhul. Dia tidak bersedia menyatakan sumpah setianya kepada para penguasa Dinasti Umawiyyah meski ditawari uang sebanyak 30.000 dirham karena menganggap mereka sebagai penguasa yang tiran.
Segera, seorang utusan datang menemui Sa‘id bin Al-Musayyab. Ketika bersua dengan sang ulama, utusan itu berucap kepadanya, “Tuan Guru, Amir Al-Mukminin sedang berada di Masjid Nabawi. Dia ingin berbicara denganmu.”