Sebuah kamar dengan dinding berwarna putih, terlihat bersih dan suci bagi siapapun yang memasuki ruangan tersebut. Kasur dengan seprai merah muda pun membuat suasana ruangan terasa lebih soft dan romantis.
Di tengah kasur, sudah ada rangkaian bunga mawar yang membentuk hati berukuran besar hampir memenuhi seisi kasur. Di tengah-tengah, sudah terukir empat huruf yang dibuat dari rangkaian bunga mawar yang bertuliskan I.M.A.N, Ilyas Mahendra dan Arini Nazela.
Malam sudah larut dan acara resepsi yang kacau pun sudah selesai. Arini tidak menyangka, pernikahannya harus rusak dan membuat dirinya malu di depan para tamu hanya karena Brian.
Ia duduk di kasur sambil mengekspresikan kekesalannya. Suasana kamar yang harusnya dinikmati oleh pasangan muda, ini malah berkumpul bersama emosi yang melanda.
Arini masih menggerutu, ia kesal karena resepsinya yang kacau dan kesal karena ia harus menikah dengan orang yang paling ia benci. Ia beranjak dari kasur dan melihat rangkaian bunga mawar yang berbentuk hati itu. Melihatnya saja, bukan membuat ia terpesona. Tapi justru membuat suasana hatinya semakin kacau. Ia pun mengacak-acak rangkaian mawar tersebut, sampai menarik seprai dan dibuang ke lantai.
Ilyas yang baru saja masuk ke kamar terperanjat melihat Arini yang mengacaukan seisi kamar,
“Kenapa? Mau marah? Kesal? Iya?” teriak Arini pada Ilyas yang baru masuk.
Ilyas hanya diam. Ia tak berkata apapun. Ia memahami kondisi Arini dan apa yang dirasakan wanita yang sekarang sudah menjadi istrinya itu. Ia pun langsung ambil sapu dan bakul sampah yang ada di pojokkan ruangan.
Ia ayunkan sapunya ke kanan dan ke kiri untuk merapihkan kamar dari rangkaian bunga yang berserakan.
Arini semakin kesal dengan tingkah Ilyas. Laki-laki yang sudah menjadi suaminya itu tidak berkata apapun. Akhirnya, ia layangkan kakinya ke sapu hingga sapu itu terpelanting jauh beberapa meter dari Ilyas. Sekali lagi, Ilyas hanya diam. Ia ambil sapu itu dan melanjutkan aktivitas menyapunya.
Arini semakin kesal karena Ilyas tak juga meresponsnya. Wajahnya memerah berlinang air mata. Ia hanya berdiri dan melihat laki-laki itu menyapu lantai sampai selesai. Berdiri sambil mengertakkan giginya dengan mata yang sudah memerah dan basah dengan air mata.
“Aku mandi duluan ya,” ucap Ilyas sambil membuka jasnya.
Ia berjalan ke kamar mandi sambil menanggalkan kancing kemejanya satu per satu. Namun, langkahnya langsung terhenti ketika Arini berbicara kembali.
“Ini kan yang lu mau? Menikah dengan gue dan mengambil seluruh harta bokap gue. Iya kan? Harusnya lu tuh sadar, lu cuma pengemis!” teriak Arini dengan jari telunjuk yang diarahkan pada Ilyas.
Hatinya teriris. Siapa yang tidak kesal ketika dirinya dihina pengemis. Apalagi ucapan itu dilontarkan oleh istrinya sendiri. Ia mencoba menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan.
Ilyas tidak marah. Memang begitulah kenyataannya. Ia hanya seorang pengemis yang tiba-tiba jadi milyarder dan menjadi bagian perusahaan NG Group.
“Sebelum tidur, nanti kita salat sunnah dulu ya,” ucap Ilyas tanpa memalingkan wajahnya yang membuat Arini semakin kesal.
Hatinya semakin panas. Sejak awal ia masuk kamar, semua ucapannya diabaikan oleh Ilyas. Ia pun berteriak kencang setelah Ilyas masuk ke kamar mandi.
***
Ilyas melebarkan pintu kamar mandi. Ia menyugarkan rambutnya dengan handuk agar cepat kering. Handuk putih sudah melingkar dan menggulung di pinggulnya. Walau dulunya pengemis, tapi kerasnya hidup yang akhirnya membuat tubuh Ilyas bagus dan atletis. Kulitnya yang putih dan sedikit kecokelatan dengan dada membidang dan otot yang kekar, membuat wanita yang melihatnya pun bisa langsung jatuh hati padanya. Apalagi parasnya yang tampan. Tapi ... kecuali Arini.
Ilyas terhenyak melihat kamarnya yang kosong. Tak ada Arini di kamar tersebut. Harusnya, ini giliran Arini yang mandi dan membersihkan tubuhnya setelah serangkaian resepsi yang panjang dan melelahkan.
Ia melangkah mencari Arini, ternyata ada di balkon. Dengan mata yang masih sembab, Arini memandangi komplek perumahan di rumah barunya. Ilyas yang masih mengenakan handuk di pinggulnya itu, berdiri diam melihat istrinya yang sedang berdiri di balkon.
Sesekali ia menundukkan kepalanya. Terkadang, Ilyas berpikir dan merasa bersalah dengan apa yang terjadi pada hidup Arini hari ini. Memang, wanita mana yang mau menikahi seorang pengemis. Terkadang, ia berangan-angan, andai saja tidak bertemu Pak Anthony waktu itu, mungkin hidupnya tidak akan indah seperti sekarang ini. Dan mungkin, dirinya tidak akan bertemu Arini, bahkan sampai menikahinya seperti ini.
Arini pun mulai tidak betah. Sesekali ia menggaruk lengan dan pinggangnya karena keringat yang menempel seharian. Ia pun membalikkan badannya dan melihat suaminya yang sedang bertelanjang dada di hadapannya. Sontak, ia langsung menutup wajahnya dengan kedua tangannya.