"IBUUUUUU," teriakku. Aku nggak peduli suara cemprengku mampu mengaktifkan nuklir sekalipun. Ada yang lebih penting saat ini daripada meletusnya perang dunia ketiga. Aku berlari ke luar kamar, mencari Ibu.
"Apa? Kamu kenapa?" tanya Ibu panik. Ibu hanya menggunakan handuk. Rambut dan tubuhnya masih basah, belum sempat dikeringkan.
"Aku dapet kerjaan!" seruku girang. Kuciumi wajah Ibu yang masih basah dan beraroma sabun mandi.
"Eh? Beneran?" Ibu nggak percaya. Aku mengangguk buat meyakinkannya. "Alhamdulillah," ucapnya lalu sujud syukur. Ibu nggak mempedulikan handuk basahnya yang tersingkap.
Aku bahagia. Ibu lebih bahagia. Setelah menganggur selama satu tahun, akhirnya aku mendapatkan pekerjaan yang kuharapkan. Menjadi lulusan kampus negeri ternama nggak mempermudahku mendapatkan pekerjaan. Nyatanya banyak juga teman satu angkatanku yang masih menganggur sampai detik ini. Entah karena kami memang terlalu memaksakan ideologi harus bekerja di perusahaan besar dengan gaji tinggi atau memang kompetisi yang semakin sengit sekarang. Bayangkan saja, kotaku ini banyak banget pabrik besar. Nggak tanggung-tanggung, pertumbuhan pabrik di sini bahkan menggusur lahan pertanian. Dulu kota ini dikenal dengan lumbung padi, tapi sekarang sudah beralih menjadi kota industri. Anehnya, warga pribumi asli masih kesulitan mendapat pekerjaan. Sementara banyak pendatang dari luar kota, luar provinsi, luar pulau, bahkan luar negeri yang dengan mudahnya diterima sebagai karyawan di sini. Kalau kami, warga asli kota ini, saja masih banyak yang menganggur, kenapa koorporat itu malah menerima pekerja dari luar?
Aku termasuk beruntung bisa mendapatkan pekerjaan ini. Sebuah perusahaan rokok mau menerimaku sebagai salah satu staf administrasi. Salah satu perusahaan rokok terbesar di negeri ini. Bodo amat dengan argumen rokok halal atau haram. Terserah mereka mau berdebat tentang rokok ini membunuhmu. Pada kenyataannya rokok menjadi salah satu komoditi dagang yang menyumbangkan banyak pendapatan buat negara. Selain nominal dana yang masuk ke rekening negara, pabrik rokok juga masih mampu mempekerjakan ribuan karyawan. Jadi, nggak ada alasan buat menentang industri rokok di negara ini. Sekarang bahkan aku bisa teriak, "Rokok membunuhmu, tapi rokok sumber shoppingku."
Ibu membantuku mempersiapkan hari pertama kerja. Nggak banyak yang kubutuhkan. Kemeja putih dan rok hitam selutut sudah kumiliki sejak tahun lalu. Sepatu dan tas juga masih layak untuk digunakan. Orangtuaku memang bukan orang kaya raya yang punya uang sisa untuk bebas foya-foya. Bapak cuma karyawan di pabrik kertas yang juga menjadi dosen di malam hari. Ibu nggak bekerja, selain mengurus rumah tangga. Aku anak kedua dari tiga bersaudara. Abangku sudah menikah dan tinggal di luar kota. Adik lelakiku baru saja masuk SMA. Aku anak perempuan satu-satunya.
"Baju udah disetrika belum?" Ibu bertanya sambil terus memasak di dapur. Pertanyaan yang sama yang sudah ditanyakan ribuan kali dalam dua hari ini.
"Masa masih kurang rapi?" Aku jadi ragu dengan penampilanku. Kemaja putih dengan lengan sebatas siku dan rok lipit hitam sudah kupakai. Rambut panjangku kukucir ekor kuda. Sepatu pantofel hitam dengan hiasan pita siap mempercantik kakiku. Aku menggunakan make up simpel. Aku nggak mau seniorku menganggapku sok kecentilan nanti.
Ibu menghentikan masaknya. Diambilnya kain lap di samping kompor untuk membersihkan tangan. Mata bulatnya memandangiku dari atas sampai bawah. Ibu tersenyum, "Ibu berasa ngaca."
"Ih, kelihatan tua berarti aku," protesku kesal. Memang banyak yang bilang aku mewarisi wajah Ibu. Mata, hidung, dagu, bahkan warna kulit kami sama. Bapak cuma menurunkan bentuk bibir buatku.
"Tapi, kan, cantik," bantah Ibu. Ibu lalu kembali ke depan kompor dan meneruskan masaknya.
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh. Aku harus segera bergegas berangkat kalau nggak mau telat. Jalanan di pagi hari begini cukup bikin emosi dengan macetnya. Dengan sepeda motor matic, aku menembus padatnya jalanan. Jarak rumah dan pabrik cukup jauh, memerlukan waktu satu jam tanpa macet. Kalau macet seperti pagi ini, bisa sampai satu setengah jam buat sampai di pabrik.
Memasuki kawasan industri yang luas, aku sedikit bingung dengan arah menuju pabrik tempat kerjaku. Aku memang pernah beberapa kali iseng masuk ke kawasan industri ini. Sekedar berkeliling melihat pabrik-pabrik yang menghasilkan produk terkenal atau menikmati suasana danau buatan yang lumayan menyejukkan. Sayangnya, karena banyak sudut yang sepi, kawasan industri ini menjadi rawan kejahatan. Nggak jarang aku membaca berita kalau ada begal nekad yang menyerang karyawan di sekitar sini.
Setengah jam kemudian aku sudah berada di ruang khusus untuk sebuah pelatihan. Ruangannya nggak terlalu luas. Ada meja panjang di tengah ruangan yang dikelilingi sepuluh kursi. Sebuah white board penuh coretan, mungkin gambar bagian-bagian mesin, terpasang di depan tepat di bawah AC yang menyala.
Hanya ada tiga orang di ruangan ini, termasuk aku. Kami sama-sama karyawan baru di sini. Gadis dengan rambut ikal panjang yang duduk di sampingku bernama Lia. Dia manis dan ramah. Sedangkan gadis pendiam di depanku bernama Eci.
Tepat pukul 8.30, seorang wanita dengan rambut pendek masuk. "Selamat pagi. Perkenalkan, saya Dian. Saya yang akan menjadi trainee untuk kalian selama satu Minggu ke depan."
Teh Dian menjelaskan semua kewajiban dan hak kami sebagai karyawan. Nantinya kami akan berada dalam departemen yang sama, yaitu departement secondary, tapi grup berbeda. Ada lima grup dalam departemen secondary yang bergantian bekerja dalam tiga shift. Pabrik ini memang bekerja selama 24 jam, nyaris nggak pernah berhenti.
Di hari terakhir pelatihan kerja, Teh Dian mengumumkan pembagian grup untuk kami bertiga. Aku ditempatkan di grup C, Lia di grup A, dan Eci di grup D. Dari lima grup yang ada, memang hanya tiga grup ini yang membutuhkan admin baru.