Tangisan Tengah Malam

Franciarie
Chapter #2

Rumah Kontrakan

Peristiwa malam kemarin membuatku ketakutan. Beruntung dua orang yang kukira begal ternyata adalah teman kerjaku, Rian dan Budi. Aku memang belum hapal betul nama dan wajah rekan satu grupku. Mereka sengaja membuntuti motorku karena khawatir kalau terjadi sesuatu. Ini nggak lepas dari permintaan Cheryl. Rumah Rian dan Budi memang searah dengan rumahku, jadi mereka nggak keberatan dengan permintaan Cheryl.

Ibu yang menungguku pulang langsung berterima kasih ke Rian dan Budi setelah kuceritakan kejadian yang membuatku nyaris jatuh ke sawah tadi. Rian dan Budi dengan baiknya malah menawarkan diri untuk antar jemput kerja. Tapi Bapak menentang. Bapak memintaku ikut bus perusahaan saja. Bagi Bapak itu alternatif yang paling aman.

"Tapi kalau ikut bus, harus nunggu di depan masjid besar dulu. Busnya nggak lewat gang rumah kita." Aku mencoba menjelaskan kekurangan kalau ikut bus perusahaan. Nggak lucu kalau aku harus jalan dari masjid besar sampai ke rumah saat pulang kerja. Jaraknya bisa sampai satu kilometer sendiri. Sudah capek kerja ditambah capek jalan kaki, bisa kurus kering badanku nanti.

Bapak terlihat berpikir. "Kamu boleh pakai motor kalau kerja shift satu saja. Shift dua kamu bisa diantar Ibu sampai masjid besar, pulangnya nanti Bapak yang jemput di masjid. Shift tiga nanti Bapak yang antar sampai masjid, pulangnya Ibu yang jemput. Kamu aman di jalan, selamat sampai rumah."

Kali ini aku nggak bisa menolak usul Bapak. Aku juga merasa itu cara paling aman.

Keesokan harinya aku sudah menunggu bus di depan masjid besar sejak pukul 12.30. Budi mengatakan kalau bus lewat di depan masjid sekitar jam setengah satu. Aku nggak boleh tertinggal bus kalau nggak mau telat. Ternyata bukan cuma aku yang berniat menumpang bus perusahaan. Sekarang saja sudah ada tiga orang dengan seragam yang sama denganku menunggu bus datang. Aku nggak familiar dengan wajah mereka. Entah aku yang belum paham rekan kerjaku atau mereka bekerja di departemen lain.

Lima menit menunggu, akhirnya bus datang. Bus perusahaan merupakan minibus berwarna abu-abu dengan lambang perusahaan terpampang di kedua sisi bus. Di kaca bagian belakang terdapat setiker angka dua. Mungkin angka itu menunjukkan nomor urut bus ini. Aku memilih duduk di bagian depan, di samping supir. Seorang pria paruh baya sopan menyapaku saat aku duduk. Dia menjalankan minibus dengan kecepatan sedang. Minibus akan berhenti jika supirnya melihat orang dengan seragam perusahaan kami berdiri di pinggir jalan. Mirip cara kerja angkot pada umumnya. Hanya penumpangnya khusus untuk karyawan perusahaan kami saja.

Pukul dua kurang sepuluh menit minibus sudah sampai di pabrik. Ternyata nggak seburuk yang aku kira. Mungkin ikut bus perusahaan ini memang pilihan terbaik.

Cheryl menyambutku dengan histeris saat aku akan duduk di bangkuku. "Nilaaaaa... Lo nggak apa-apa, kan? Budi sama Ryan nggak ngapa-ngapain lo, kan?"

Aku tersenyum. Kuletakkan pantatku pada kursi empuk. "Makasih, ya. Kalau bukan kamu yang minta mereka nemenin aku, mungkin aku beneran dikejar begal," sahutku.

"Terus lo gimana? Masih berani naik motor sendiri malem-malem?" Cheryl terlihat khawatir.

"Nggak. Aku ikut bus. Nanti pulangnya di jemput Bapak," jawabku sambil menyalakan komputer.

Cheryl menarik kursi ke depan mejaku. Dia duduk setelah meletakkan tasnya ke atas meja. "Bagus, deh. Nggak tenang gue kalau lo masih nekat bawa motor sendiri."

"Thank's, Che. Kamu baik banget," pujiku jujur.

Cheryl orang yang baik, pantas saja lelaki di grup ini suka sama dia. Kalau dari penampilan, Cheryl sama sekali nggak feminim. Dia lebih memilih memakai celana wol hitam daripada rok setiap bekerja. Menurut pengakuannya, celana lebih memudahkan dia bergerak saat mengurus mesin yang rewel. Apalagi dia bekerja bersama para lelaki, jadi pilihan memakai celana lebih aman buatnya.

Pekerjaan hari ini cukup menguras tenaga dan pikiran. Aku sangat lelah. Rasanya ingin segera pulang dan memeluk guling.

Bus yang siap mengantarku pulang mulai berjalan. Kali ini aku duduk di belakang supir. Di sampingku duduk seorang lelaki gendut yang juga terlihat lelah. Baru saja bus ke luar area pabrik lelaki itu sudah mendengkur keras. Suara protes terdengar dari belakang. Bukan cuma aku yang terganggu dengan dengkuran ini. Sayangnya, lelaki di sampingku tetap terlelap. Mungkin dia sedang bermimpi sangat indah sampai nggak peduli suara protes di dalam bus ini.

Selama hampir satu jam perjalanan aku terganggu dengan suara dengkuran. Lelaki di sampingku sama sekali nggak berhenti mendengkur. Dia baru bangun saat temannya membangunkannya dan memberitahu kalau sudah sampai di rumah. Apesnya, dia turun bersamaan dengan aku turun.

Badanku terasa pegal karena posisi duduk yang salah. Aku nyaris nggak bergerak di dalam minibus tadi. Rasanya aku semakin lelah.

Bapak sudah menungguku di atas motor di depan masjid. Wajahnya terlihat mengantuk. Bapak masih menggunakan kemeja lengan panjang yang biasa digunakannya untuk mengajar. Bapak pasti juga lelah. Biasanya Bapak langsung tidur sepulang dari kampus.

Baru seminggu bekerja, aku merasa sangat lelah. Sepertinya aku harus mencari alterlatif lain untuk berangkat dan pulang. Ikut bus perusahaan nggak senyaman yang kubayangkan. Bus harus melewati rute yang lebih jauh dari yang biasa kutempuh. Jelas ini membuatku semakin lama sampai di rumah. Kalau pekerjaan sedang menumpuk, dan rasanya ingin segera tiba di rumah, perjalanan dengan bus perusahaan membuat semakin tersiksa. Hampir tiap hari aku satu bus dengan lelaki gendut tukang ngorok itu. Entah apa pekerjaannya sebenarnya sampai-sampai tiap waktunya pulang dia menjadi orang yang paling lelah di bus.

"Lo kenapa?" tanya Cheryl setelah duduk di sampingku. Ini jam istirahat. Kantin penuh sesak. Untungnya kantin ini selalu menyajikan makanan yang enak dengan porsi banyak. Kami memang diberikan jatah makan satu kali tiap hari kerja. Lumayan irit ongkos jadinya.

"Kenapa?" Aku ganti bertanya karena nggak paham dengan maksud Cheryl. Kulahap nasi dengan potongan bebek goreng dan sambal ijo. Ini enak. Sambelnya pedesnya nampol. Aku langsung berkeringat setelah makan dua suap.

"Kayak yang capek banget gitu. Apa lagi ada masalah? Putus sama pacar?" Cheryl mulai kepo. Baru seminggu mengenal Cheryl, aku sudah tahu kalau Cheryl adalah orang yang sangat perhatian, kalau nggak mau dibilang suka ikut campur urusan orang.

"Aku nggak nyaman aja kalau ikut bus perusahaan," jawabku setelah meneguk air putih banyak-banyak. Pedas. Lidahku rasanya terbakar.

Lihat selengkapnya