Hampir satu minggu rumah kontrakan dibenahi. Teh Indri serius memperbaiki rumah itu. Sekarang rumah tipe 36 itu nggak lagi terlihat menyedihkan.
Teh Indri mengecat ulang dinding dengan warna salem. Rumput liar sudah dibuang semua, hanya tersisa pohon mangga yang belum berbuah di halaman rumah. Pagar yang kemarin susah dibuka juga sudah diperbaiki. Genteng juga sudah dirapikan, dan dipastikan nggak ada yang bocor. Rumah ini sudah bersih dan layak dihuni.
Tepat di hari libur shift tiga, aku dan Cheryl mulai memindahkan barang-barang ke rumah kontrakan. Nggak banyak barang yang kubawa dari rumah, hanya pakaian, make up, dan peralatan mandi. Aku butuh membeli kasur dan lemari pakaian baru. Bersama Cheryl, kami berbelanja semua kebutuhan rumah. Kami sepakat membeli dengan uang bersama yang dibebankan sama rata. Untuk saat ini perabot yang mengisi kontrakan kami masih sedikit.
Ruang tamu dan ruang tengah dibiarkan tanpa penyekat. Di ruang tamu, kami membentangkan tikar biru. Nggak ada meja, nggak ada kursi, nggak ada perabotan apapun, hanya tikar. Di ruang tengah, yang sepakat kami jadikan sebagai ruang santai dan ruang makan, diletakkan meja pendek di bagian tengah ruangan. Kami bisa menggunakan meja itu untuk makan berdua.
Dapur kami masih sepi. Cheryl mengaku nggak hobi masak. Aku juga bukan orang yang mau repot masak. Jadi peralatan masak kami hanya sekedarnya. Kompor gas lengkap dengan gas hijaunya diletakkan di atas meja di sudut dapur. Wajan dan sebuah panci kecil digantung di dinding dekat kompor. Peralatan makan dan masak berukuran kecil ditata rapi di rak plastik di dekat bak cuci piring.
Cheryl mengisi kamar mandi dengan nuansa biru, warna favoritnya. Aku nggak protes karena bukan hal yang patut didebatkan. Yang penting alat mandiku nggak dipakai Cheryl. Jangan sampai kami harus berbagi kuman dan bakteri.
Kamarku ada di dekat ruang tengah. Aku nggak mau tidurku diganggu suara berisik dari jalan. Beberapa kali ada penjual bakso lewat dengan suara speaker kencang dari gerobaknya. Aku yang mudah terbangun akan merasa sangat terganggu dengan itu.
Single bed kupilih untuk mengisi kamarku. Aku hanya tidur sendiri, jadi nggak butuh kasur yang besar. Sengaja kuletakkan kasur busa itu di lantai dengan beralaskan tikar.
Sebuah lemari kain yang bisa dibongkar pasang menjadi pilihan terbaikku saat ini. Karena selain ukurannya yang nggak terlalu besar dan mudah dipindahkan, harganya juga murah. Pakaian yang kubawa nggak banyak, aku belum membutuhkan lemari besar.
Kuletakkan cermin setinggi hampir setengah badanku di samping lemari. Di bagian bawahnya kuletakkan meja plastik yang kugunakan untuk tempat skincare dan make up. Kipas angin kecil juga menempati sedikit meja itu. Udara kota ini panas banget, tanpa bantuan kipas aku pasti sudah berkeringat banyak.
Aku belum berniat mendekor kamarku dengan atribut lain. Dinding kamarku masih terlalu polos, mungkin nanti aku bisa menghiasnya dengan wall sticker atau fotoku.
Untuk sekarang aku sudah merasa nyaman dengan kamar baruku ini.
Sore ini menjadi sore pertamaku menempati rumah kontrakan. Rasanya menyenangkan dan sedikit aneh. Sebelumnya aku sama sekali nggak pernah tinggal jauh dari keluargaku. Ini menjadi pengalaman pertamaku untuk mandiri. Walaupun masih satu kota dengan orangtuaku, rasanya tetap saja membuatku sedih.
Biasanya sore hari begini, Ibu sudah menyediakan cemilan, walau sekadar tempe mendoan dengan sambal kecap. Kalau Bapak nggak langsung ke kampus, kami akan menunggu magrib sambil bercanda di teras. Atau kadang kami akan nonton tv dan ikut membahas berita yang sedang heboh saat ini. Biasanya Edo akan menceritakan kasus viral di sosmed. Dia memang salah satu agen gibah terbaik.
Belum sampai dua belas jam pindah saja aku sudah kangen dengan mereka.
Aku mengambil sebotol air mineral ukuran kecil yang isinya sudah habis setengahnya. Keringat sudah membanjir di dahi dan punggungku. Aku melangkah ke luar rumah. Duduk di teras sepertinya lebih menyenangkan. Hembusan angin di luar sedikit lebih kencang daripada di dalam rumah.
Tepat dengan dugaanku. Lapangan di depan kalau sore hari ramai dengan anak-anak. Mereka asik bermain bola. Beberapa ada yang duduk bergerombol di pinggir, sibuk dengan HP. Aku yakin mereka sedang bermain game online.
Bermain game online memang menyenangkan. Saat menganggur kemarin aku juga menghabiskan waktu dengan bermain game. Tapi setelah mendapat perlakuan nggak menyenangkan dari orang aneh, kuputuskan untuk nggak menyentuh game online lagi.
Dulu, saat sedang asik main game, tiba-tiba ada chat masuk. Game yang kumainkan memang mempunyai fitur chat yang bisa mempermudah para pemainnya untuk saling bertegur sapa. Kami bahkan bisa share foto atau suara. Kami bisa saling menyemangati atau memaki sambil bermain. Sayangnya, chat yang masuk itu berisi gambar yang nggak semestinya. Aku jijik melihatnya.
Aku berdiri memandangi lapangan yang berisik dengan teriakan bocah. Rasanya ingin ikut bergabung dengan keceriaan mereka. Menjadi anak-anak adalah hal paling menyenangkan. Masalah terberat mereka hanya ingin main seharian, tapi diharuskan tidur siang oleh ibunya.
Sebuah mobil SUV hitam lewat dan berhenti di depan rumah hijau di samping kontrakanku. Penasaran, aku memperhatikan mobil itu. Aku belum pernah melihat tetangga baruku. Ini saat yang tepat untuk saling menyapa.
Seorang pria turun dari mobil. Pria itu berpenampilan rapi dengan celana krem dan kemeja lengan panjang warna biru. Rambutnya dipotong model undercut. Hidungnya mancung. Bibirnya tipis. Aku nggak bisa melihat matanya yang ditutupi kacamata hitam.
Pria berkulit putih itu melihat ke arahku. Aku malu ketahuan memperhatikannya. Dia mendekat dan tersenyum lebar saat berhenti di depanku. "Baru pindah hari ini?" tanyanya.
"I-iya," jawabku kikuk. Aroma parfum maskulin menusuk hidungku. Dia berdiri di balik pagar, jarak kami sekitar tiga langkah, tapi aroma tubuhnya masih tercium dengan jelas.
"Saya Jo, yang punya rumah itu," katanya memperkenalkan diri. Dia menggerakkan dagu, menunjuk rumahnya. Bibirnya masih terus tersenyum. "Kalau butuh bantuan bilang saja. Saya usahakan membantu."
Aku mengangguk. "Makasih." Entah kenapa aku jadi bingung harus bicara apa.
"Kalau gitu, saya masuk dulu," pamit Jo sambil mengangguk.