Sabrina menggosok matanya yang masih terasa berat untuk dibuka. Dia baru bisa tidur pukul 02.00 dini hari, dan sekarang terbangun pada pukul 07.06. Hari ini hari Minggu, harusnya dia bisa beristirahat sampai siang, akan tetapi suara deruman knalpot mobil dan gesekan barang di aspal terdengar jelas di kamarnya, yang terdapat dibagian depan rumah dan menghadap jalan kompleks.
Dengan kesal Sabrina mengintip lewat gorden jendelanya, dan melihat sebuah mobil box terparkir di halaman rumah yang berada tepat di depan rumahnya. Dua orang pria sedang menggotong meja jati yang kelihatan berat itu, berusaha memasukkannya melalui pintu depan yang ukurannya tidak seberapa besar.
Rumah depan bernomor 12.B sudah lama kosong, dan Sabrina baru menyadari bahwa spanduk " Rumah ini dijual, hubungi Arif ( 08124895672) tanpa perantara " sudah tidak terpasang lagi di depan pagar berwarna putih yang sudah berlumut itu. Jadi kelihatannya rumah itu sudah terjual dan pemilik baru sedang memindahkan barang-barangnya. Sabrina sedang tidak beruntung bahwa hari istirahatnya yang dipilih menjadi hari pindahan barang.
Sabrina bangun dengan malas, matanya sempat melirik notif yang berkedip-kedip di telepon selularnya, dari rekan se-tim-nya, Ben.
Okey Sa, kuyakin Amy bakal suka yang kali ini 👍👍
Sabrina masuk ke bawah pancuran dan membuka keran air panas, membiarkan kucuran derasnya air pancuran membasahi rambut, wajah dan seluruh tubuhnya. Menyegarkan walaupun tidak bisa melemaskan setiap inci otot ditubuhnya yang terasa kaku.
"Kurasa aku harus pijat relaksasi ke tempat spa, aduhhhh." Pikir Sabrina sambil meringis.
Sabrina menepuk-nepuk spons bedak ke wajahnya yang sudah diolesi moisturizer dan sunscreen, mengikat rambut lurusnya dan keluar kamarnya, dia butuh secangkir kopi. Suara bunyi ketel berbunyi tepat saat Sabrina memasuki dapur.
"Sekalian kopi-ku ma, untuk menjaga mataku agar tetap terbuka." Kata Sabrina sambil mengulurkan sebuah cangkir ke arah ibunya.
"Lah tumben uda bangun Sa, semalam lembur lagi? Jangan paksakan dirimu sayang." Tanya ibunya sambil menuang kopi sachet lalu menuangkan air panas ke cangkir Sabrina.
"Amy agak cerewet kali ini ma, karna proyek kali ini lumayan besar, bisa menaikkan nama perusahaan. Itu rumah depan pagi-pagi uda main pindahan aza, aku terbangun karnanya." Gerutu Sabrina sembari meniup kopi panasnya.
"Dari kemarin siang uda mulai datang barang, kasur dan kardus-kardus besar. Akhirnya terjual juga rumahnya setelah sekian lama, mama bikinkan omelet ya." Ujar ibunya sambil mengambil telur dari kulkas.
Sudah dua tahun Sabrina dan ibunya tinggal di rumah ini, mereka pindah kembali ke kota ini setelah Sabrina di terima bergabung sebagai desainer interior di Karya Muda Interior.
Setelah tamat Sma, Sabrina bersama kedua orang tuanya pindah ke kampung halaman ayahnya. Usaha ayahnya jatuh bangkrut jadi mereka memutuskan pulang ke kampung halaman ayahnya di kota kecil. Rumah mereka saat itu dijual untuk melunasi seluruh hutang ayahnya dan sisanya untuk dijadikan modal usaha kecil-kecilan di tempat baru.
Sabrina menolak usul ayahnya agar dia tetap tinggal di kota dan melanjutkan kuliahnya. Dia tidak ingin memberatkan orangtuanya yang sedang mengalami masa sulit, pindah ke kota kecil biaya hidup akan lebih ringan termasuk biaya kuliahnya walaupun bukan universitas bergengsi.
Apalagi almarhum kakeknya ada meninggalkan warisan sebuah rumah untuk ayahnya. Biarpun sudah rumah lama dan kecil, tapi setelah di renovasi sana sini, jadinya masih layak ditempati. Kedua orangtuanya lalu membuka toko kelontong kecil di teras dan halaman depan yang diberi kanopi.
Sabrina mendaftar di universitas setempat dan di terima di jurusan desain interior yang diminatinya. Dia sudah tidak pernah berkomunikasi lagi dengan teman-temannya dulu, hanya dengan Fiona, teman sebangku yang menjadi sahabat terdekatnya.
Sabrina berhasil menyelesaikan S1-nya tepat waktu dan betapa bahagia-nya dia melihat raut bangga di wajah kedua orangtuanya saat menghadiri acara wisudanya. Sabrina merasa beruntung selesai S1 langsung mendapat pekerjaan di perusahaan kontruksi setempat, walaupun belum masuk di tim utama.
Sabrina belajar banyak dari senior-senior di perusahaan. Dia bekerja keras membuat mood board terbaik untuk dipresentasikan, mencari bahan terbaik walau dengan limit budget terbatas saat project research. Kesibukannya membuatnya jarang bergaul dengan teman-teman kuliahnya.
"Gigih boleh Sa, tapi ingat jaga kondisimu." Pernah ayahnya berkata begitu padanya.
"Mumpung masih muda pa, dan selagi ada kesempatan aku ga boleh nyia-nyiain." Jawab Sabrina waktu itu.
"Ya tapi sesekali pergilah jalan-jalan sama teman-teman kuliahmu, kulihat kamu hanya berkutat di pekerjaanmu." Ayahnya menambahkan lagi.
"Jangan khawatir pa, aku fine-fine aza koq." Sabrina menenangkan ayahnya.
Sabrina bertekad untuk menjadi sukses, bisa membanggakan orangtuanya dan berharap membawa orangtuanya pindah kembali ke kota. Sabrina tau sejak kejatuhan usaha ayahnya dan kepindahan mereka ke kota kecil ini, orangtuanya banyak mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari keluarga ayahnya.
Mereka tidak pernah lagi menghadiri acara keluarga, sepertinya saudara-saudara ayahnya khawatir ayahnya akan meminjam uang dari mereka. Sabrina tau kesedihan dan sakit hati yang dirasakan oleh ayahnya yang berusaha tetap tegar, maka Sabrina berjanji dalam hati dia akan melakukan yang terbaik untuk memulihkan kembali kondisi keluarga mereka.
Sampai suatu hari Fiona mengabarkan bahwa perusahaan kontruksi Karya Muda Interior sedang membuka lowongan untuk desainer interior, dan menyarankan Sabrina mencoba mengirimkan hasil karya desainnya. Setelah melewati berbagai proses dan pertemuan langsung dengan Amy, manajer kontruksi, Sabrina akhirnya diterima bergabung.
Rencana awal adalah Sabrina yang akan pindah sendiri ke kota dahulu, baru setelah semua berjalan lancar, kedua orangtuanya akan menyusul. Akan tetapi Seminggu sebelum kepindahan Sabrina, ayahnya terjatuh di kamar mandi karna darah tingginya kambuh dan dinyatakan meninggal dunia.
Kebahagiaan yang menyelimuti keluarga kecil itu langsung berubah jadi kesedihan. Sabrina dan ibunya sangat terpukul dengan kepergian mendadak ayahnya. Sabrina langsung menunda keberangkatannya karna harus mengurus pemakaman ayahnya dan menyusun ulang rencananya. Dia tidak mungkin meninggalkan ibunya sendiri.
"Mama tidak apa-apa sendiri Sa, tidak usah khawatir. Sementara ini tante Fifi akan menemani mama di sini. Kamu segeralah berangkat ke kota bersama Fiona." Ibunya berkata dengan mata sembab.