Tanpa Batas Waktu

Liliyanti
Chapter #4

Hujan di malam itu

Sabrina melirik jam tangannya, sudah hampir pukul 21.00. Hujan masih turun dengan derasnya, suasana aula gedung Cakrawala yang di gunakan sebagai tempat wisuda sudah sepi. Tampak beberapa petugas sedang membersihkan aula, hanya tersisa belasan wisudawan yang belum pulang.

Sabrina dengan sabar menunggu ayahnya yang sedang sibuk di kantor, dia mengetahui ayahnya sedang ada masalah pekerjaan. Beberapa kali dia mendengar orangtuanya membahas masalah keuangan, akan tetapi mereka berusaha menutupinya dari Sabrina. Mereka tidak mau Sabrina mengkhawatirkan biaya kuliahnya.

Sabrina melihat ke atas langit malam yang gelap, air yang turun dari atas seolah-olah tiada habisnya. Sabrina sudah mengubur impiannya untuk kuliah Universitas impiannya, dengan kondisi sekarang ini, ayahnya tidak akan mampu membiayainya.

Sabrina memutuskan akan mendiskuisikan masalah ini dengan orangtuanya, dia tidak ingin ayahnya memaksakan diri untuknya. Sabrina mengeluarkan telpon selularnya yang bergetar dari tas-nya, ada notif dari ayahnya yang mengabarkan dirinya akan segera sampai.

Setengah berlari Sabrina menuju ke arah pos satpam di dekat pagar gedung, ada kanopi pos yang bisa melindunginya. Dia akan menunggu ayahnya di depan pos, jadi ayahnya tidak perlu masuk ke dalam lagi. Dingin menjalari tubuhnya yang terkena air hujan. Disekanya tetesan air yang merembes dari poni rambutnya.

Sesosok tubuh berdiri tidak jauh darinya, Sabrina segera menyadari itu teman sekelasnya Zack. Berdiri di situ dengan punggung agak membungkuk dan kedua belah tangan di dalam saku, kepalanya terangkat menatap langit, Zack kelihatan sangat rapuh.

"Zack, haii kamu lagi nunggu jemputan juga?" Sabrina menyapa dengan agak takut.

Sabrina bahkan merasa heran pada dirinya sendiri kenapa dia menyapa Zack, padahal bisa dikatakan dia jarang sekali berbicara dengan Zack selama bersekolah, mungkin karna Sabrina berpikir ini adalah saat terakhir dia bertemu Zack.

"Oh hmmm hai. Iya." Zack yang terkejut menjawab singkat dengan gugup.

"Hujan deras sekali ya. Astaga Zack, bajumu basah sekali, apakah kamu ga berteduh tadi?" Sabrina baru menyadari Zack basah kuyub, seolah-olah dia baru mandi hujan.

"Tidak apa-apa, aku suka hujan, berdiri di tengah hujan dan merasakan tetes airnya jatuh di seluruh tubuhku terasa sangat melegakan." Jawab Zack pelan.

"Oh begitu, kalo aku bakalan masuk angin. Lagian aku takut tersambar petir kalau berdiri di tengah hujan." Sabrina berkata dengan kikuk, bingung harus menjawab apa.

"Aku justru berharap petir menyambarku, tapi sepertinya langit juga tidak menginginkanku." Ujar Zack sambil tersenyum getir.

Sabrina menatap Zack dan dapat merasakan kegetiran di dalam suaranya. Tubuh kurus itu tampak gemetaran di balik baju basahnya yang menempel di kulitnya. Tiba-tiba Zack menoleh dan balas menatap Sabrina juga.

Terkejut tetapi tidak mampu memalingkan wajahnya, Sabrina terpaku pada mata gelap Zack yang nanar menatapnya. Mata penuh kesedihan, kepedihan dan kesakitan. Sabrina tenggelam akan perasaan bersalah, rasa kasihan dan simpati bercampur aduk dalam dadanya.

"Maaf, maafkan aku Zack." Terdorong perasaan, spontan Sabrina meminta maaf.

Zack ternganga tidak menyangka tiba-tiba Sabrina bisa mengatakan maaf, bahkan kata maaf itu terdengar tulus. Zack tau Sabrina merasa bersalah karna selama ini diam dan tidak berbuat apa-apa. Bukan hanya Sabrina, akan tetapi satu kelas tidak mengambil tindakan ketika ketidakadilan dan perundungan terjadi kepadanya.

"Tidak apa-apa, aku sudah terbiasa. Dari aku sudah bisa mengingat, aku sudah mendapat segala hinaan, ancaman dan pemukulan. Aneh aza kenapa aku masih bisa bertahan hidup." Kata Zack pahit.

"Kenapa kamu tidak pernah melaporkan kepada orangtuamu Zack? mereka pasti akan bertindak, sehingga perundungan akan berhenti. Karna kamu diam makanya mereka merasa di atas angin dan terus menjahatimu." Akhirnya Sabrina menanyakan pertanyaan yang selama ini mengendap di pikirannya.

Di luar dugaan Sabrina, Zack tertawa terbahak-bahak. Akan tetapi Sabrina bisa melihat bahwa Zack tertawa histeris, jadi dia diam aza menunggu sampai Zack berhenti tertawa dan bernafas terengah-engah.

"Ayahku membuang kami, ibuku membesarkanku dengan susah payah. Kedua orangtuanya sudah meninggal dan saudaranya tidak mengakui kami karna menurutnya ibuku sudah melakukan hal yang memalukan. Kami tidak mendapat dukungan dan uluran tangan dari siapapun juga." Zack berkata dengan datar.

"Karna hanya tamat Sma, ibuku hanya bisa melamar di kerjaan yang tidak mensyaratkan tamatan kuliah. Aku dititipkan ke tetangga yang di bayar ibuku, sementara dirinya kerja menjaga toko. Aku di beri makan hanya seadanya oleh tetanggaku itu, pukulan dan ancaman adalah makanan sehari-hari bagiku." Kisah Zack miris sembari menepuk dadanya yang kerempeng, seolah mengatakan kepada Sabrina itulah penyebab pertumbuhan tubuhnya terhambat.

Ketika Zack berusia 6 tahun, toko tempat ibunya bekerja mengalami kebakaran sehingga menyebabkan ibunya kehilangan pekerjaan. Untuk berhemat sembari mencari pekerjaan baru, Zack kecil tidak lagi dititipkan ke tetangga, akan tetapi Zack di belikan sebuah tv bekas oleh ibunya, jadi setiap hari ibunya akan keluar dan Zack di tinggalkan sendiri untuk menonton tv di rumah.

Akhirnya ibunya mendapatkan pekerjaan di sebuah salon, jadi setiap pagi Ibunya akan memasak sekedarnya untuk Zack dan bekal untuk dirinya sendiri. Begitu ibunya berangkat kerja, Zack akan membereskan rumah sewaan mereka.

Setiap hari Zack selalu melihat anak-anak yang pulang sekolah dari jendela kecil kamarnya. Tidak jauh dari rumah, ada sebuah sek, akan tetapi gaji ibunya saat ini hanya cukup untuk membayar sewa rumah dan makan mereka, sehingga Zack belum disekolahkan.

Zack belajar bernyanyi dari tontonan tv, dan di malam hari kalau ibunya tidak kelelahan dia akan mengajarkan Zack baca-tulis. Dari teman kerjanya, ibunya mendapatkan lungsuran buku-buku. Zack ternyata berotak cerdas, dengan cepat dia menguasai buku-buku yang di pelajarinya. Ibunya yang melihat kepintaran Zack akhirnya meminta bantuan bos pemilik salon yang kebetulan mengenal Kepala sekolah dari sekolah yang dekat rumah mereka.

Mereka menemui Kepala sekolah yang menguji langsung Zack, dan melihat kepintaran anak itu, Zack pun diterima dan mendapat potongan setengah uang sekolahnya setelah mengurus keterangan tidak mampu di kelurahan setempat.

"Siapa yang mengatakan anak kecil tidak berdosa dan polos, tidaklah mengenal anak-anak sekelasku. Masuk di pertengahan semester, tidak memakai tas ataupun sepatu sekolah yang bermerk, tidak mampu membuat pesta ultah, tidak membawa uang saku yang banyak, akibatnya tidak ada seorangpun yang mau berteman denganku." Zack mengenang dengan perih.

"Naik kelas pun aku tetap mendapat perlakuan yang sama, jangan harap mendapat grup kerja kelompok, atau grup olahraga. Guru-guru juga tidak bertindak apa-apa, yang menghiburku hanyalah setiap penerimaan rapor aku selalu mendapat ranking 3 besar, dan melihat raut bangga di wajah ibuku-lah yang membuatku bertahan." Lanjut Zack sambil diam-diam melirik Sabrina yang mendengarkan dengan sungguh-sungguh.

Zack mengikuti ujian masuk Smp Negeri dan diterima. Dia memulai kehidupan menjadi siswa Smp dengan semangat, akan tetapi segera kepintarannya menjadikannya rival dengan siswa lain, Ferry. Rivalnya bertubuh tinggi besar berbanding 180 derajat dengan Zack yang pendek kerempeng.

Persaingan antara Zack dan Ferry menjadikan Zack target perundungan Ferry dan pengikutnya. Bermula dari ejekan fisik, Zack masih bisa tahan. Begitu Ferry mengetahui Zack tidak mempunyai ayah, ejekan menjadi makanan sehari-hari Zack. Hinaan terhadap ibunya yang membuat Zack melawan, berakibat pukulan dari Ferry dan para pengikutnya.

Zack tidak berdaya menghadapi intimidasi dari mereka, pulang sekolah dalam kondisi babak belur menjadi hal biasa. Teman-teman sekelasnya yang lain tidak berani membela Zack, karna takut mengalami nasib yang sama dengan Zack.

Lihat selengkapnya