Tanpa Batas Waktu

Liliyanti
Chapter #5

Vivien

Vivien bersandar di kursi dengan lunglai. Surat dari bagian perkreditan Bank tergeletak di atas meja-nya. Sudah 2 bulan perusahaan gagal membayar utang yang jatuh tempo di Bank. Dan sepertinya bulan ini mereka akan gagal lagi.

Ayah Vivien meneruskan usaha konveksi ayahnya bersama dengan adiknya, paman Vivien. Usaha keluarga mereka mencapai masa jaya ketika berhasil mendapatkan berbagai orderan untuk proyek baik dari instansi Pemerintah maupun Swasta.

Setelah lulus kuliah Vivien langsung terjun di usaha keluarga ini, sebelumnya kakak laki-lakinya sudah duluan masuk di dalam perusahaan. Sama seperti mereka, putra pamannya juga bergabung. Mereka dipersiapkan untuk melanjutkan kepemimpinan orangtua mereka.

Segera Vivien menemukan banyak persoalan di bagian produksi, banyaknya reject dari hasil produksi yang gagal, ditambah persoalan buruh konveksi. Vivien mengambil kesimpulan bahwa manajemen perusahaan selama ini di jalankan dengan tidak profesional dan ada kecurangan di dalamnya.

Vivien lalu menemui ayahnya dan melaporkan hasil temuannya dan meminta ayahnya mempersiapkan tim audit untuk mengaudit keuangan, meminta laporan insidental dari manajer tiap bagian dan meminta laporan dari bagian Hrd dalam permasalahan buruh.

"Vivi, apakah kamu meragukan kepemimpinan papa? kakakmu atau pamanmu??" Ayahnya bertanya dengan raut wajah kaku.

"Bukan begitu Pa, hanya aza kinerja perusahaan menurun dalam 2 tahun ini, jadi aku memeriksa dan menemukan berbagai persoalan di beberapa lini, ini perlu dibereskan sesegera mungkin Pa." Vivien menjawab dengan buru-buru.

Ayahnya mengangkat tangannya ke arah Vivien dan menolak melanjutkan pembicaraan tentang hal ini dengan Vivien.

"Baik, Papa akan membicarakan masalah ini dengan kakakmu dulu, tapi kulihat ini hanya masalah biasa. Perusahaan masih terus menghasilkan laba, kamu fokus dengan kerjaanmu dan jangan sibuk bermain detektif-detektif-an." tukas ayahnya.

"Tapi Pa--" Vivien belum mau menyerah.

"Sudah cukup! Keluar dari ruanganku, tidak ada lagi pembicaraan tentang hal otong ayahnya keras.

Vivien keluar dari ruangan ayahnya dengan perasaan kesal dan marah bercampur menjadi satu. Dia tau ayahnya memandang remeh dirinya, dari dulu ayahnya hanya selalu membanggakan kakak laki-lakinya.

Orangtuanya bercerai saat Vivien berusia 10 tahun, ibunya sudah tidak tahan dengan sifat kasar ayahnya yang temperamental, ditambah kebiasaan mabuk dan judi yang sering memicu pertengkaran di antara mereka.

Ketika memutuskan berpisah dengan ayahnya, Ibu Vivien hendak membawa serta Vivien, sementara kakak laki-lakinya yang akan ikut ayahnya, akan tetapi Vivien menolak mengikuti ibunya dan memilih tinggal bersama ayah dan kakaknya.

Vivien sudah terbiasa hidup mewah dari kecil, dia tidak bisa membayangkan hidup tanpa segala kemewahan ini, belum lagi rasa malu dan takut di hina oleh teman-teman akrabnya saat itu. Ikut ibunya tidak ada jaminan walaupun ibunya mendapatkan pembagian harta dari ayahnya.

Ibu Vivien merasa sakit hati dan sedih, akan tetapi dia tidak memaksa Vivien, setelah memberikan banyak pesan dan doa untuk ke dua anaknya, dia meninggalkan rumah megah mereka tanpa pernah kembali lagi.

Ibu Vivien juga tidak pernah sekalipun lagi menanyakan kabar tentang Vivien maupun kakaknya, begitu pula kedua kakak beradik itu tidak pernah mencari atau sekedar menelpon ibunya. Mereka sibuk dengan kehidupan masing-masing.

Beberapa tahun setelahnya Vivien mendengar kabar pernikahan ibunya dengan teman ayah Thalia, seorang duda pengusaha barang elektronik yang memiliki anak perempuan berusia beberapa tahun di bawah Vivien, ibu anak itu meninggal dunia karna sakit.

Ayah Vivien tidak pernah menikah lagi, akan tetapi sifat minum ayahnya tidak juga berubah, pulang dalam keadaan mabuk dan membuat keributan di rumah itu sudah hal biasa. Itu semua membuat Vivien tidak merasa betah di rumah, hubungannya dengan kakaknya juga tidak begitu akur dari dulu.

Vivien pernah tanpa sengaja bertemu ibunya di acara yang di adakan oleh orangtua Thalia. Ibunya datang dengan suami barunya dan anak perempuan suaminya. Vivien terkesima melihat Ibunya tampak cantik dan begitu segar berseri-seri, di sebelah ibunya seorang gadis manis merangkul tangannya dengan rasa sayang. Dan Vivien bahkan harus mengakui bahwa suami ibunya begitu gagah dan tampan, jauh di banding ayahnya yang kelihatan tua dan layu karna kebanyakan minum.

"Vivi, lama tidak bertemu, apa kabarmu dan kakakmu?" sapa ibunya sambil tersenyum begitu melihat Vivien.

"Eh baik ma, kami semua sehat. Oya selamat ya atas err penikahanmu, langgeng selalu." Jawab Vivien dengan kaku.

"Terimakasih Vivi, kenalkan ini putriku Rachel, ini Vivien." Ibunya berkata kepada putri sambungnya.

Rachel mengulurkan tangannya dengan ramah kepada Vivien, kelihatan jelas di wajahnya gadis itu tau siapa dia, jadi ibunya pasti bercerita tentang dirinya kepada Rachel. Entah apa yang diceritakan ibunya, akan tetapi Vivien merasa hatinya sedikit perih ketika ibunya tadi menyebut putrinya sebagai Rachel dan bukannya dia.

"Ibumu cantik sekali yaa Vi, tambah muda kulihat. Mungkin karna berbahagia ya. Om Alex dan Rachel sayang sekali dengan ibumu." Terdengar suara Thalia begitu ibunya dan Rachel berlalu.

"Tampan sekali suami ibumu Vi, jujur aza ya ayahmu kebanting banget." Timpal Laura sambil tertawa, begitu pula Julie dan Thalia.

Vivien merasa sakit hati saat itu, mengapa sahabatnya tidak menjaga perasaannya, malah menertawakannya. Akan tetapi bukannya sahabatnya selalu begitu, mereka semua begitu egois dan tidak pernah menjaga tiap kata yang keluar dari mulut mereka. Dengan kecut Vivien sadar dirinya juga sama, itulah sebabnya mereka bisa tahan bersahabat sejak masih di Sekolah Dasar.

"Setidaknya ayahku jauh lebih kaya dan sayang kepadaku daripada pria itu!!" sergah Vivien angkuh, walau dia sendiri agak ragu soal rasa sayang ayahnya kepadanya.

Setelah pertemuan itu Vivien tidak pernah lagi bertemu dengan ibunya, kemudian Vivien lulus Sma dan melanjutkan kuliah di luar negri bersama ketiga sahabatnya itu. Setelah lulus kuliah mereka semua kembali lagi untuk merintis karir, Vivien sendiri memilih masuk ke perusahaan keluarganya.

Vivien tidak bisa menutup mata melihat hasil laporan orderan yang masuk. Vivien menangani bagian marketing, grafik merah merupakan red flag baginya. Mereka kehilangan beberapa customer perusahaan besar yang selama ini meng-order jumlah banyak berbagai jenis kaos maupun goodie bag untuk hadiah, proyek dari instansi pemerintah juga terus gagal didapatkan, mereka selalu kalah dari perusahaan pesaing.

Tim marketing sudah all out melobi customer lama yang berpaling, mencari customer baru dan bersaing dengan gigih dalam tiap tender instansi pemerintah. Bahkan marketplace juga telah di genjot habis-habisan.

"Selama bagian produksi tidak meningkatkan kualitas dan harga tidak bisa di tekan, kita akan susah berkompetisi. Banyak muncul pesaing baru dengan good quality product dan jor-joran dalam harga." Papar Harry.

"Yang menunjukkan trend positif saat ini hanya penjualan di marketplace, kita terbantu dengan berbagai promo di sana, sehingga orderan dropship ataupun reseller terus masuk. Akan tetapi tetap tidak bisa sampai setengah hasil produksi." Tambah Nadia.

Vivien diam berpikir sambil memutar pulpennya, dia harus secepat mungkin berbicara dengan manajer produksi, Santo secara diam-diam. Ayahnya sudah memperingatkan dirinya agar tidak usah mencampuri hal yang bukan urusannya, akan tetapi perusahaan ini adalah bagian dari dirinya, bagaimana mungkin dia diam berpangku tangan melihat kemerosotan perusahaan.

Terkadang Vivien berpikir bahwa ayahnya sulit berpikir jernih karna pengaruh minuman, otaknya sepertinya sudah tidak berfungsi 100% dengan baik. Andai aza Vivien bisa memaksa ayahnya untuk rehabilitasi kebiasaan minumnya.

Vivien memutuskan dia akan mencari tau dulu apa penyebab kemerosotan omzet perusahaan, baru setelah mendapat data yang valid, dia akan menemui ayahnya lagi. Berharap kepada kakaknya juga tidak bisa, kakaknya taunya hanya bersenang-senang dengan teman-temannya, bahkan saat ini dia lagi asyik berseluncur salju di Iceland.

"Aku akan berbicara dengan Santo dan mencari solusi ini bersama dengan tim produksi. Kalian tetap semangat dan bekerja dengan gigih ya." Vivien menutup pembicaraan.

Vivien tidak membuang waktu, dilihatnya baru pukul 13.00, dia langsung pergi sendiri ke pabrik untuk menemui Santo sekaligus melihat langsung kerja para buruh. Vivien seperti biasa melewati makan siangnya, untuk menjaga bentuk tubuhnya agar tetap langsing.

Lihat selengkapnya