Sabrina berdiri dalam diam, di sebelahnya berdiri sahabatnya, Fiona. Alicia, Gladys, Derrick, Vincent, dan Antoni juga hadir di situ. Mereka semua memandang dengan pilu kejadian di depan.
Ibu Julie jatuh pingsan ketika peti jenazah Julie dimasukkan ke dalam liang, keluarganya yang disebelahnya segera meraihnya dan membawanya menepi. Ayah Julie berdiri dengan tegar tapi tampak sangat berduka.
Thalia yang sangat terpukul kelihatan begitu rapuh dalam pelukan Hugo yang terus menguatkannya. Walaupun Geng Beken begitu menyebalkan semasa sekolah, tetapi melihat Thalia yang sekarang ini mereka semua merasa simpati kepadanya.
Julie akhirnya tidak bisa bertahan, dia meninggal dunia pada hari Jumat, tiga minggu sejak kecelakaannya dan sehari sebelum launching produk kecantikannya. Akhirnya launching produknya diundur ke hari Senin.
Rekan kerja dan karyawannya semua hadir di pemakaman dan melihat kesedihan mereka semua, bisa dipastikan Julie memperlakukan mereka dengan baik.
"Tidak pernah disangka ya mereka akan mendapat musibah satu persatu begini." Gumam Gladys pelan.
"Di reuni kemarin mereka masih begitu sehat dan angkuh seperti biasa, hidup benar-benar tidak bisa ditebak." Ujar Alicia.
"Aku tidak bisa membayangkan perasaan Thalia saat ini, dia benar-benar hancur. Sa, kamu tidak apa-apa?" Tanya Fiona sambil menyentuh lengan Sabrina.
"Aku---aku sungguh-sungguh berharap Laura mampu melewati masa kritisnya dan pulih kembali." Sabrina menjawab dengan lirih.
Sabrina tidak akan pernah melupakan peristiwa yang terjadi pada hari dimana dia dan kliennya makan di restoran Laura. Mereka baru selesai makan siang dan Sabrina sangat puas dengan steak tenderloin-nya, begitu pula Brianne, kliennya.
Sabrina juga sangat lega akhirnya rancangannya kali ini disambut antusias oleh Brianne, semuanya berjalan dengan baik saat itu sampai mereka selesai makan dan hendak pulang. Karna hujan turun dengan derasnya, Sabrina dan Brianne menunggu sebentar sambil membahas tentang model meja yang akan dipakai di cafe Brianne nantinya.
Suara teriakan dari karyawan restoran mengagetkan semua yang berada di dalam restoran, Sabrina dan Brianne yang duduk di kursi tunggu dekat pintu masuk langsung berdiri dan berlari keluar untuk melihat apa yang telah terjadi.
"Telpon Polisi, eh salah telpon Rumah sakit--- telpon keduanya!!!" Terdengar ada staff yang berteriak panik kepada rekannya.
"Apa yang terjadi???" Terdengar pertanyaan tamu-tamu dan staff yang bingung.
Sabrina melihat Laura tersungkur dengan darah deras mengucur, sementara Satpamnya sedang bergulat dengan seorang pria berhelm menutupi wajahnya. Tanpa pikir panjang Sabrina langsung berlari menghampiri Laura dan memegangi tubuhnya.
Seorang staff restoran membantu Sabrina memegangi tubuh Laura. Sabrina melepaskan cardigan jeansnya dan menekankan ke luka Laura yang terbuka untuk menahan darah yang mengalir deras, segera pakaian Sabrina memerah oleh darah Laura.
"Laura--Laura bertahanlah, ambulans akan segera tiba." Sabrina merasa suaranya bergetar, begitu pula tubuhnya gemetaran.
Satpam dengan dibantu oleh karyawan lain berhasil meringkus orang yang menusuk Laura, dan begitu helm orang itu dibuka terdengar teriakan kaget dan kemarahan dari mereka. Sabrina tidak bisa menangkap teriakan mereka, dia begitu shock melihat darah sebanyak itu.
"Bu--Bu ambulans sudah tiba, terimakasih Anda sudah membantu menahan Ibu Laura." Terdengar suara yang berbicara kepadanya dan tepukan lembut di bahunya.
"A--Apa?? Ohh syukurlahh..Maaf aku--aku agak bingung." Sabrina melepaskan tubuh Laura yang langsung diangkut oleh petugas medis ke dalam ambulans.
"Anda shock berat Bu, ayo ikut saya ke dalam, saya Donna manajer restoran. Anda harus mengganti baju dan minum segelas teh manis." Donna tersenyum dengan wajah pucat dan menggandeng Sabrina yang memerah oleh darah Laura.
Brianne membantu Sabrina berjalan masuk ke dalam restoran dan menuju ruangan Donna. Sabrina baru menyadari mobil polisi dan beberapa petugas kepolisian sudah ada di sana. Sabrina melihat tamu-tamu berdiri di pintu masuk restoran dengan ekspresi wajah terkejut, bingung dan ngeri.
Donna membuatkan Sabrina dan Brianne teh manis hangat, dan setelah Sabrina sudah tenang, dia pun membasuh wajah, tangan dan lengannya serta mengganti baju yang sudah disiapkan Donna. Mereka mempunyai cadangan baju di restoran sebagai persiapan untuk tamu apabila ketumpahan sesuatu.
"Kami meminta maaf akan peristiwa tidak menyenangkan yang Anda alami Bu, ini benar-benar di luar dugaan kami. Silakan Ibu menenangkan diri di sini, saya akan menangani keadaan di luar dulu." Kata Donna yang berhasil menyembunyikan kepanikannya dengan baik.
"Aku sudah tidak apa-apa, kurasa aku akan pulang aza. Laura adalah teman sekolahku dulu, kuharap dia selamat. Ini nomor selularku, kabari aku tentang keadaan Laura." Ujar Sabrina sambil memberikan nomor selularnya kepada Donna.
Sabrina bermimpi buruk malamnya dan terbangun dengan gemetaran. Masih terbayang-bayang olehnya Laura yang berdarah-darah, dan Sabrina berharap segera mendapatkan kabar dari Donna.
Ketika Sabrina sedang sarapan bersama Ibunya yang mengkhawatirkannya, Donna menelpon mengabarkan bahwa Laura telah menjalani operasi, karna mengeluarkan darah yang sangat banyak Laura masih dibuat tidur oleh Dokter.
Donna juga menyampaikan bahwa Julie telah meninggal dunia tadi malam, Donna mendengar dari Thalia yang bertemu dengannya di rumah sakit dalam keadaan hancur.
Sabrina sangat terkejut mendengar kabar tentang Julie karna tidak ada seorang pun yang tau tentang kejadian yang menimpa Julie. Geng Beken tidak akrab dengan teman-teman yang lain, Sabrina segera menelpon Fiona yang mendengar cerita Sabrina sambil menjerit ngeri.
"Aduhhh mengerikan sekali Sa, itu kejadian yang traumatis. Dan soal Julie sungguh sangat menyedihkan, Thalia pasti sangat terpukul." Kata Fiona prihatin.
"Aku akan mengabari Vincent, biar dia bisa mengajak teman-teman lain yang mau pergi melayat. Dari Vivien, Julie, dan sekarang Laura, ada apa dengan Geng Beken??" Ada nada takut di suara Fiona.
"Semuanya terjadi di waktu yang berdekatan. Kasian Thalia, dia pasti sedih, takut dan cemas sekarang." Ujar Sabrina bersimpati.
"Yang terpenting sekarang adalah dirimu dan mentalmu dulu Sa. Ayo kita pergi rileksasi ke spa, aku yang traktir. Kamu izin ke kantor hari ini, sebentar lagi aku jemput kamu." Suara Fiona tegas menandakan dia tidak menerima penolakan.