Vincent terbangun oleh bunyi telpon selularnya, dia melihat jam di mejanya menunjukkan pukul 04.17. Vincent meraih telpon selularnya bertanya-tanya siapakah yang menelpon di hari Minggu subuh.
Nama "Robert" berkedip-kedip di layar, sambil mengerutkan keningnya Vincent mengangkat telpon dari Robert, yang pasti menelpon dari benua lain. Suara Robert yang penuh semangat terdengar di seberang sana.
"Vin!! Bangun awal terus jogging bagus buat kesehatan, jangan tidur aza!!"
"Sehat kepalamu Rob!! Ini Minggu subuh dan kurang tidur justru merusak kesehatan." Omel Vincent kepada Robert yang tertawa terbahak-bahak.
"Lagi berlabuh Rob?" Tanya Vincent sambil mengucek matanya.
"Yup, kami berlabuh tidak lama, makanya aku tidak bisa menunggu sampai Matahari terbit." Robert terkekeh.
"Ada apa bro?" Vincent yakin Robert tidak akan menelpon sepagi itu kalau tidak penting.
"Aku mendengar dari Ayahku tentang Josh, dia melihat berita tentang penembakan terhadap Josh." Jawab Robert yang memang berteman cukup dekat dengan Josh sejak Sma.
"Sebelumnya Josh sempat mengabariku tentang kebakaran yang terjadi kepada Antoni serta peristiwa yang terjadi kepada teman-teman yang lain. Apa yang sedang terjadi Vin? Josh dan Antoni bagaimana kondisi mereka terkini?" Robert bertanya dengan serius sekarang.
"Kemarin Dion pergi menjenguk Antoni, perbannya sudah dibuka dan saat ini sudah mulai tumbuh jaringan parut, Antoni juga sudah bisa makan sendiri dan berkomunikasi dengan baik." Vincent dapat merasakan kelegaan Robert.
"Josh beruntung peluru tidak mengenai organ vitalnya, kondisinya sudah stabil ketika aku mengunjunginya ke Rumah sakit. Polisi masih mengejar komplotan pelaku yang sudah dikantongi identitasnya, mereka merupakan spesialis penjambret nasabah Bank dan Atm." Papar Vincent.
"Syukurlah kalau begitu. Tapi Vin, Josh sempat meracau tentang arwah Zack yang menghantuinya. Ketika aku bertanya lebih lanjut dia sepertinya bingung sendiri." Kata Robert lagi.
"Kurasa karna satu persatu teman kita mendapat musibah. Kemarin Sabrina dan Fiona juga diteror tapi untungnya mereka tidak apa-apa, dan Thalia mendapat kiriman kucing mati." Ujar Vincent dengan berat.
"Apa??? Semua seolah menunggu giliran, jadi itu sebabnya Josh ketakutan sampai berpikir ada yang dendam dengan kelas kita, dan dia beranggapan itu arwah Zack." Robert mengerti sekarang.
"Ketakutan memang bisa membuat orang kehilangan akal sehat. Itu sebabnya hari ini teman-teman akan datang ke rumahku, kami akan membahas tentang semua kejadian ini Rob." Vincent memberitahu Robert.
"Ada satu hal yang mau kupastikan dulu Vin, aku seperti melihat Ibu Zack di bar semalam bersama beberapa teman. Aku ragu-ragu karna Ibunya terlihat berbeda dengan yang kita lihat saat penerimaan rapor dulu." Kata Robert kemudian.
"Aku berharap malam ini dia datang lagi ke bar. Aku---aku yakin ini tidak ada hubungannya dengan kejadian di sana karna Zack toh sudah meninggal lama, tapi kurasa tidak ada salahnya kalau aku menyapa dan mengobrol dengannya." Lanjut Robert lagi.
"Mungkin setidaknya kamu bisa meminta maaf kepadanya Rob." Vincent sengaja menggoda Robert.
"Kurasa aku akan melakukannya kalau dia benar adalah Ibu Zack, mengingat betapa bodohnya aku dulu selalu ikut menganggunya hanya karna mencari muka kepada Thalia." Robert menertawakan kebodohannya sendiri.
"Ohya kami akan selesai berlayar Minggu depan, setelahnya aku akan mengambil libur, kurasa sekitar dua Minggu lagi aku akan pulang setelah sekian lama." Sambung Robert.
Karna kapalnya sudah akan berlayar lagi, Robert segera menyudahi telponnya. Vincent sudah tidak merasa mengantuk lagi, dia bangun untuk mencuci muka dan mengganti baju olahraga untuk jogging pagi.
Sabrina membunyikan bel sekali lagi. Dia yakin ada orang di rumah depan ini, tadi pagi dia sempat mengintip dari gorden kamarnya ada seorang wanita yang turun dari mobil putih lalu masuk ke dalam rumah, sementara mobil itu langsung pergi lagi.
Kemarin ada paket lagi yang dititipkan ke rumah Sabrina, dan Sabrina memakai kesempatan ini untuk datang ke rumah depan mengantarkan paketnya sekaligus untuk bertemu langsung dengan pemilik rumah yang menurutnya agak aneh.
Sabrina melirik ke atas dan melihat ada kamera cctv yang mengarah ke arahnya. Sabrina jadi berpikir seharusnya dia memasang kamera cctv di rumahnya juga untuk keamanan. Sejurus kemudian terdengar kunci diputar dan pintu depan terbuka.
Seorang wanita bertubuh tinggi kurus dengan wajah berahang persegi yang kaku. Matanya menatap Sabrina dengan galak, Sabrina jadi merasa seperti anak kecil yang berdiri dihadapan guru yang hendak memberikan hukuman kepadanya.
"Maaf, ada keperluan apa Anda menekan bel?" Bahkan suaranya terdengar ketus dan tanpa basa basi.
"Eh maaf kalau mengganggu, saya Sabrina dari rumah depan. Ini saya mengantarkan paket yang ditujukan kepada Bapak Frans, kemarin dititipkan oleh kurir ke rumah saya." Sabrina menjawab dengan cepat seraya menyerahkan paketnya.
"Oh kalau begitu terimakasih, mungkin lain kali saya akan memesan kurirnya agar menaruh paketnya di depan pintu saja, tidak perlu dititipkan ke rumah tetangga." Jawab wanita itu.
"Tidak apa-apa, saya tidak merasa terganggu koq." Sabrina memasang wajah yang ramah.
"Oke saya terima paketnya." Ujar wanita itu sambil merentangkan tangannya yang terlihat seperti pengusiran di mata Sabrina.
Sabrina buru-buru pamit seraya memaksakan senyum di wajahnya, akan tetapi wanita itu sama sekali tidak membalas senyum Sabrina. Sekilas mata Sabrina menangkap sepasang sepatu pria di dekat pintu masuk, jadi Pak Frans--nama yang tertera sebagai penerima paket mungkin berada di dalam rumah tersebut.
Sabrina tidak habis pikir ada orang yang sejudes wanita tadi, padahal Sabrina sudah berbaik hati mengantarkan paket Pak Frans yang entah siapanya wanita itu, mungkin itu suaminya pikir Sabrina. Menurut Sabrina tetangga depan bukan saja misterius tetapi juga tidak ramah sama sekali.
Wanita tadi mengintip Sabrina dari balik gorden, begitu Sabrina sudah masuk kembali ke dalam rumahnya, dia berjalan ke arah ruang tengah, diletakkannya paket yang tadi diantarkan Sabrina ke atas meja, di hadapan seorang pria yang duduk bersandar di sofa.
"Dia sepertinya ingin mencaritau siapa itu Pak Frans, tapi kurasa dia tidak akan datang lagi. Kelihatan sekali diwajahnya pendapatnya tentang aku." Ujar wanita itu sambil mengeluarkan seberkas laporan dan foto-foto dari dalam tasnya.
"Kamu memang selalu bisa kuandalkan Jean, terimakasih." Kata pria di sofa seraya menerima berkas beserta foto itu dan langsung memeriksanya.
"Selanjutnya apa rencanamu?" Tanya Jean.
"Aku akan menilai situasi dan kondisi dulu sementara ini. Aku tidak boleh tergesa-gesa, walau semarah apapun aku." Pria itu menggeram dan merobek foto-foto yang diberikan oleh Jean tadi.
Jean menatap pria itu dalam diam, dia tau tidak boleh menahan luapan emosi pria tersebut, itu hanya akan memperparah kondisinya. Berbagai perasaan berkecamuk dalam benak Jean tetapi dia selalu mampu mengontrol dirinya dengan baik, sehingga pria ini tidak pernah mengetahui perasaannya.
.
**************
Sabrina memasukkan baju-baju ke dalam mesin cuci sambil melamun, mengingat kembali pertemuannya semalam dengan dengan Viktor secara tidak sengaja. Dia sedang memilih roti di bakery shop ketika ada suara yang menyapanya.
Sabrina menoleh dan terkejut melihat Viktor berdiri di sana dengan keranjang roti ditangannya juga. Melihat Viktor memakai pakaian casual bukan stelan jas seperti pertemuan mereka kemarin, Sabrina bisa melihat kemiripan wajah dan postur Viktor dengan adiknya, Vivien.
Viktor mengenakan kaos turtle neck hitam dan jeans senada, dia tersenyum lebar kepada Sabrina yang entah mengapa jadi tersipu-sipu.
"Hai, kebetulan sekali bertemu di sini, sendirian saja?" Tanya Viktor sambil melihat sekeliling.
"Hai oh halo Pak Viktor, iya aku datang sendiri." Jawab Sabrina dengan sedikit gugup.
"Please, jangan panggil Pak. Santai aza, cukup panggil aku Viktor." Kata Viktor langsung.
"Oh, baiklah Pak--eh Viktor, ini bakery shop langgananku, rotinya enak-enak." Sabrina berusaha mencari topik pembicaraan untuk menutupi kegugupannya.