Dia tidak bisa memejamkan matanya, isi otaknya terlalu penuh sampai terasa sangat menyesakkan di kepalanya. Keringat dingin mengucur deras dan nafasnya memburu.
Dia telah salah langkah, terlalu bernafsu mengeksekusi rencana brilian-nya. Mereka mulai curiga dan yang paling menyesakkan adalah dia tidak bisa masuk ke tempatnya lagi.
Dia senang mengunjungi rumahnya, walau hanya sekedar duduk di sofanya, menyentuh tempat tidurnya, melihat barang-barangnya. Sekarang dengan pengamanan ganda dia tidak bisa masuk lagi.
Dia begitu jauh sekarang, dia bahkan telah berpaling ke yang lain. Senyum dan gestur itu tidak salah lagi merupakan reaksi ketertarikan dan perih terasa menghujam dadanya. Dia tidak bisa membiarkan hal itu terjadi.
Miliknya adalah miliknya, untuk selamanya. Selama roh kehidupan masih bertiup ditubuhnya, selama denyut nadinya masih berdenyut, selama matanya belum terpejam untuk selamanya, maka miliknya tidak akan pernah diserahkan kepada siapapun juga.
Dia akan mencari jalan, dia mempercayai kecerdasan otaknya untuk menyusun rencana yang sempurna. Tapi kali ini dia tidak akan tergesa-gesa, dia yakin waktunya masih panjang.
Sabrina tidak bisa berkonsentrasi mendengarkan apa yang dikatakan oleh Ben kepadanya, dirinya hanya menatap nanar desain yang ditunjukkan oleh Ben. Sabrina bergumam setuju sambil mengangguk-angguk sementara otaknya bekerja keras menyusun rencana.
Siang ini mereka ada janji bertemu dengan Viktor di kantornya. Final desain sudah disiapkan dan akan dibriefing kepada Viktor, dan Sabrina belum tau bagaimana dia harus bersikap dihadapan Viktor.
Sabrina bersikap profesional, dia tidak mau mencampur-adukkan urusan pekerjaan dengan urusan pribadinya. Dia bertekad menyelesaikan dulu urusan desain interior rumah Vincent baru akan berbicara secara personal kepada Viktor mengenai Vivien.
Kehilangan anggota keluarga karna sebab yang wajar saja sangat menyakitkan apalagi karna bunuh diri. Sabrina masih teringat jelas betapa terpukulnya dirinya dan hancurnya Ibunya ketika ayahnya meninggal dunia.
Sabrina tidak tau sedekat apa Viktor dengan Vivien, atau seberapa dalam luka yang ditinggalkan Vivien. Dia sama sekali tidak mempunyai bayangan seperti apa keluarga Vivien, sehingga dia harus sangat berhati-hati ketika membicarakan masalah ini dengan Viktor.
Sulit rasanya diterima oleh akal sehat kalau Vivien akan mengakhiri hidupnya sendiri. Kehidupannya begitu cerah, dia memiliki segalanya. Mereka semua sangat terkejut tetapi tidak mungkin bertanya kepada Thalia yang sudah menolak membahas sejak awal.
"Sa--heyyy apakah kamu mendengarkanku??" Ben menggoyang-goyangkan tangannya di depan wajah Sabrina.
"Oh ya ya Ben, aku denger koq, pokoknya aku setuju." Sabrina menjawab dengan gelagapan.
Ben memandang Sabrina dengan curiga, yang dibalas senyum lebar oleh Sabrina. Mereka berdua lalu berangkat ke kantor Viktor. Gedung 4 tingkat itu berdiri di posisi hook dikelilingi pohon-pohon yang rindang. Lantai satu disewakan untuk kantor Asuransi, sementara Perusahaan Viktor menempati lantai 2 sampai 4.
Mereka langsung naik lift menuju lantai 4 dimana kantor Viktor berada. Seorang Satpam mengantar mereka dan berbicara sebentar dengan seorang gadis yang sepertinya adalah sekretaris Viktor di meja depan, lalu mempersilakan mereka masuk ke ruangan Viktor yang berada di sebelah kanan.
"Silakan Pak, Bu. Pak Viktor sudah menunggu kedatangan Anda."
Ruangan Viktor tampak luas dan didominasi warna earth tone. Putih pada dindingnya dengan lantai dari kayu solid yang memberi kesan hangat dan nyaman. Viktor tersenyum menyambut Sabrina dan Ben lalu mempersilahkan mereka duduk di sofa besar warna coklat.
"Mau minum apa Ben, Sabrina?" Tanya Viktor.
Sabrina meminta teh hangat manis dan Ben kopi panas. Viktor berbicara sebentar diinterkom dan tidak lama kemudian gadis yang duduk di meja luar tadi masuk mengantarkan minuman mereka.
Ben lalu membuka laptopnya dan memaparkan hasil desain kepada Viktor. Ben yang melakukan survey langsung ke lokasi rumah Viktor bersama bagian kontraktor. Ben mendesain bagian tata letak ruang, mengatur arah mata angin, instalasi listrik dan air serta segala kesesuaian letak.
Sentuhan Sabrina memegang peranan di bagian letak furniture, pemilihan bahan material dan model. Viktor menyukai dan menyetujui hasil rancangan mereka, dia tidak mempermasalahkan anggaran dan hanya meminta finishing dapat diselesaikan sebelum Tahun baru, dengan kata lain dalam 6 bulan.
Ben langsung menghubungi Amy yang memastikan dari pihak kontraktor menyanggupinya. Mereka langsung melakukan penandatangani kontrak kerjasama dengan Viktor.
Sepanjang diskuisi mereka, Sabrina bisa merasakan tatapan Viktor kepadanya tetapi dia pura-pura tidak tau. Setelah kontrak kerja beres, Sabrina kembali dipenuhi pemikiran tentang Vivien, dan dia tau dia tidak boleh membuang waktu.
"Mari kita makan siang di luar, ini kebetulan sudah jam makan siangku juga." Ajak Viktor.
"Terimakasih Pak Viktor, tapi tidak usah repot-repot." Balas Ben.
"Jangan merasa sungkan, dan jangan memanggilku Pak, kita seumuran Ben. Setiap orang yang bekerjasama denganku selalu kuanggap partner--teman." Viktor berkata ramah.
"Bagaimana kalau kita makan steamboat di Restoran dekat sini? Atau ada pilihan lain??" Usul Viktor lagi dan Ben mengangguk setuju.
Sabrina tidak menyia-nyiakan peluang ini dan tanpa berpikir lagi dia langsung mengusulkan makan siang di "Laura Kitchen"
"Temanku yang membukanya, dan makanan di sana enak-enak." Sabrina memandang Viktor dan dapat dilihatnya perubahan wajah Viktor.
Ben terkejut mengapa Sabrina mengusulkan Restoran dimana dia pernah mengalami kejadian traumatis, dia hendak bertanya akan tetapi dia merasa injakan heel Sabrina di sepatunya. Ben meringis dan menutup mulutnya dengan sangat heran.
"Restoran yang terkenal memang, jadi Laura itu temanmu?" Nada suara Viktor terdengar agak aneh.
"Benar, teman Sma-ku dulu, kudengar tidak lama ini dia baru mendapat musibah." Jawab Sabrina sambil tetap memperhatikan Viktor.
Wajah Viktor agak kaku dan dia sepertinya kehilangan kata-kata karna tidak menyangka Sabrina adalah teman Sma Laura, yang pastinya juga mengenal Vivien. Ben duduk dengan gelisah, walaupun tidak mengerti apa yang sedang terjadi tetapi dia bisa merasakan ada ketegangan antara Viktor dan Sabrina.
Ben hampir terlompat ketika telpon selularnya berbunyi, dan makin bingung ketika melihat nama "Sabrina" di layarnya. Diliriknya Sabrina yang bersikap biasa-biasa aza, tetapi Ben bukan orang bodoh, dia dengan cepat bisa menangkap isyarat dari Sabrina.
"Hallo Amy, apa? Oh baiklah kami akan segera kembali ke kantor." Ujar Ben di telpon, berharap tidak kedengaran sedang berbohong.
"Amy ya? Kita diminta kembali?" Tanya Sabrina yang diiyakan oleh Ben.
"Maaf sekali Viktor, kami-kami harus kembali ke kantor. Untuk selanjutnya tim kontraktor akan menghubungimu. Terimakasih banyak atas kepercayaanmu kepada kami." Ben berdiri diikuti oleh Sabrina.