Sabrina mengecek kembali kain gorden yang akan dibawanya ke kantor Hugo. Sabrina mendapat kiriman beberapa kain yang diinginkannya, dan Hugo mengatakan bahwa dia ingin memilih langsung, jadi Sabrina akan membawanya langsung ke kantor Hugo.
"Aku berangkat mengecek dulu Sa, kata Roland kirimannya sudah sampai." Kata Ben yang akan mengecek ke rumah Viktor.
"Baik Ben, sebentar lagi aku akan ke kantor Hugo juga." Jawab Sabrina.
Begitu Ben berangkat, Sabrina bersiap-siap juga. Xavier dan Luna sudah keluar dari pagi. Hari ini banyak kiriman barang yang sampai, sehingga semua sibuk. Telpon selular Sabrina berbunyi dan nama Viktor berkedip di layar.
"Halo Sabrina?? Maaf apakah aku mengganggu?" Suara Viktor terdengar dari sana.
"Halo Viktor, hmm tidak juga. Apa kabarmu di sana?? Papamu bagaimana?" Tanya Sabrina sambil duduk kembali ke kursinya.
"Papa sudah menjalani kemo pertamanya, kondisinya bisa dibilang kurang bagus, tetapi dia menjalaninya dengan tabah dan kuat." Jawab Viktor.
"Kehadiranmu pasti sangat menguatkannya Viktor, saat ini hanya dirimu yang dimilikinya. Kemoterapi sangat tidak mudah untuk dijalani, menguras fisik dan mental pasien serta keluarga." Sabrina berujar pelan.
"Benar Sabrina, aku belum tau kapan aku bisa pulang. Sepupuku mengatakan akan bergantian denganku menemani Ayahku selama menjalani pengobatan. Bagaimana keadaanmu di sana? Sekarang pukul 10 di sana, lagi di kantor ya?" Tanya Viktor.
"Ya Vik, di sana malam ya? Ini Ben sudah menuju rumahmu, nanti dia akan mengirimkanmu list dan foto barang-barang yang sudah sampai." Kata Sabrina sambil melihat notif di telpon selularnya, dari Hugo.
"Jam 11 malam di sini, okey nanti aku cek begitu Ben sudah mengirimkan. Ohya Thalia menelponku tadi, dia mengabariku soal pelaku yang melakukan pemerasan terhadap Vivi sudah diketahui identitasnya." Cerita Viktor.
"Sepengetahuan Thalia, Vivi diperas soal penyuapan terhadap Ervin, dia tidak tau soal--hal itu. Saat kasus Ervin disorot oleh media, Ayah Thalia meminta teman medianya agar berita tentang penyuapan Vivi tidak ter-up." Lanjut Viktor.
"Aku ingat kasus Ervin yang di blow up besar-besaran saat itu, dan sama sekali tidak ada berita tentang Vivien maupun perusahaan. Makanya tidak ada yang menyangka bahwa Vivien sedang mengalami masalah berat." Sabrina berkata dengan hati-hati.
"Setiap kali teringat kasus itu, aku membenci diriku sendiri dan terus menyesali kebodohanku." Viktor tidak bisa menyembunyikan nada frustasi di suaranya.
"Vik, kamu menyesal dan memperbaikinya, kamu menyelamatkan perusahaan seperti yang Vivien inginkan. Penyesalanmu membuatmu menjadi pribadi yang jauh lebih baik, aku yakin Vivien pasti memaafkanmu. Yang terpenting adalah pelaku yang menekannya telah diketahui identitasnya." Kata Sabrina dengan lembut.
"Terimakasih atas dukunganmu Sa, maaf aku terbawa perasaan. Intinya aku mengatakan kepada Thalia agar kasus Vivi tidak diangkat lagi, karna kata Thalia semua kasus akan diangkat menjadi berita. Tidak ada tuntutan yang bisa mengembalikan Vivi, yang penting adalah pelakunya tertangkap dan menerima hukuman walau atas kasus lain." Suara Viktor terdengar agak jauh.
"Benar Vik, Kakak teman kami adalah seorang jurnalis, editornya sudah menyetujui soal diangkatnya semua kasus yang diduga saling berkaitan, supaya tuntutan semakin kuat dan dalang dibalik semua ini bisa terungkap." Sabrina mendengar samar-samar suara seseorang berbicara dengan Viktor di belakang.
"Iya Sa, itu Papaku terbangun. Maaf Sabrina, kurasa aku akan memastikannya untuk kembali istirahat lagi. Kamu juga pasti sibuk di sana." Kata Viktor.
"Kamu juga harus beristirahat Vik, ini aku akan ke kantor Hugo sebentar lagi." Balas Sabrina.
"Hugo?? Pacar Thalia??" Tanya Viktor langsung.
"Benar Vik, dia memintaku untuk mendesain kantornya. Jaga Papamu baik-baik dan take care yaa." Jawab Sabrina.
"Oh begitu, baiklah. Terimakasih dan jaga dirimu juga ya, bye Sabrina." Tutup Viktor.
Sabrina mempunyai perasaan bahwa Viktor tidak suka mendengar bahwa dia mendesain kantor Hugo, suara Viktor agak berbeda. Sabrina menggeleng, rasanya tidak mungkin. Viktor tidak mempunyai alasan untuk tidak suka, bukankah dia dan Hugo sama adalah kliennya? Lagipula Viktor mengenal Hugo, pacar dari sahabat baik adiknya.
Sabrina menepis pikiran itu dari kepalanya, dia sudah terlambat dari janji dengan Hugo yang sudah menunggunya dari tadi. Sabrina buru-buru bangkit dan berangkat ke kantor Hugo.
Sabrina langsung diantar ke ruangan Hugo, yang sudah berpesan kepada staff-nya agar Sabrina langsung diantarkan ke ruangannya, yang ini lebih kecil dari ruangan pribadi Hugo yang sedang direnovasi sekarang. Desainnya minimalis tetapi nyaman.
Hugo sedang menelpon saat Sabrina masuk, dia melambai ke arah Sabrina sambil mempersilahkan Sabrina duduk dengan gerakan tangannya. Sabrina mengangguk dan duduk di sofa sambil mengeluarkan contoh-contoh kain gorden yang dibawanya.
Sabrina tidak berniat menguping tetapi suara Hugo terdengar dari tempatnya duduk. Suara Hugo tidak keras tetapi tegas dan dalam, menandakan bahwa dia tidak mau dibantah.
" Ya, tidak bisa ditunda lagi, harus dibereskan malam ini juga." Kata Hugo penuh penekanan.
"Oke, aku tunggu kabar baikmu, Jean." Tutup Hugo.
Sabrina terpaku, tangannya yang sedang memilah kain langsung terhenti. Hugo sedang menelpon dengan seseorang yang bernama Jean, nama yang langsung mengingatkan Sabrina dengan wanita pemilik rumah depan. Tetapi nama Jean bukan hanya milik satu orang, mungkin hanya kebetulan nama yang sama.
" Maaf menunggu Sabrina, mau minum apa?" Tanya Hugo sambil berjalan ke arah sofa.
"Eh--oh tidak apa Hugo, maaf juga aku terlambat. Terima kasih cukup air mineral." Sabrina menjawab dengan gugup sambil menunjuk air mineral di atas meja.