Aku masih bertahan di kelas bersama kak Adam, ketua Osis sekolah, yang akan berperan sebagai Raja Sisingamangaraja. Semua orang sudah pulang termasuk kak David yang ikut jadi peserta juga. Dia jadi salah satu tentara Belanda.
Di perkenalan naskah juga aku tahu ternyata banyak murid-murid Wanita yang menyukai kak David. “Nama saya David Ginandjar Bara, berperan sebagai tentara Belanda,” ucapnya biasa saja tapi membuat murid-murid perempuan berteriak genit. Aku senyum-senyum saja menggelengkan kepala melihat para geniters itu. Walaupun memang dalam hati ikut berteriak riuh sedikit. Kak David berdiri dengan diri apa adanya, menarik rasa penasaranku meski masih bisa kutepis saat itu.
Bu Silaban meminta aku dan kak Adam tetap di kelas setelah latihan selesai untuk membahas naskah kami berdua. Naskah kami termasuk yang paling panjang dan rumit. Kami diminta mendiskusikan bagaimana caranya agar naskah panjang itu tidak menghambat proses latihan.
Selain naskah, kami pun banyak membahas kegitan di sekolah. Aku juga banyak bertanya tentang kegiatan kak Adam yang termasuk padat untuk ukuran seorang anak SMA. Apalagi dia sudah kelas tiga yang harusnya fokus untuk UN. Akan tetapi posisinya yang juga sebagai ketua OSIS, yang mana ini juga catatan sejarah bagi sekolah, sepertinya tidak akan membiarkan dia beristirahat tenang walau hanya semenit pun.
Hari sudah sore saat kami sudah selesai membahas isi naskah dan cara-cara praktis menghafal dialog. Kami berpisah di teras kelas lalu saling menyemangati. Aku mulai merasa sangat beruntung ikut drama walau diawali dengan insiden yang memalukan. Sungguh tidak menyangka bisa berdekatan dengan ketua OSIS keren seperti dia. Shaniar yang sangat mengidolakan kak Adam, pasti akan menagih banyak cerita tentang dia.
Kakiku ringan berjalan di jalan setapak taman kelas. Di ujung jalan aku melihat “si Lesung Pipi” sedang berdiri. Tiang pagar taman jadi sandaran sambil tangannya menggerak-gerakkan handphone ke kanan dan ke kiri. Sepertinya dia sedang asyik bermain game.
“Kenapa dia belum pulang? Pemain lain sudah pulang dari satu jam lalu,” pikirku.
Aku kikuk. Entah kenapa, malu, segan atau entah kata apa yang tepat untuk menggambarkan. Sebenarnya sudah beberapa kali melihatnya dan berpapasan juga. Di MOS, saat dia sedang bermain basket di lapangan (waktu itu aku dan Shaniar permisi ke kamar mandi karena sudah sangat bosan mendengar pak Tarigan membahas kehebatan ilmuwan Marie Curie berulang-ulang), saat membeli pulpen ke kantin walau hanya berpapasan dan mungkin masih ada moment lain. Tidak ada yang spesial karena hanya melihat sekilas dan ya, melihat seperti biasanya saja.
Ragu aku apakah harus lanjut melewatinya atau berbalik arah. Belum sempat memilih apa yang aku rasakan dan apa yang akan aku lakukan, dia bangkit dari sandarannya lalu menoleh padaku. Dia tersenyum. Saat itulah, untuk pertama kalinya, aku merasakan ada sesuatu bergerak tiba-tiba di hatiku. Aneh. Nafasku seketika berat.
“Hei…” sapanya sambil memasukkan handphone ke kantong celana, menegakkan tubuh.
Aku semakin kikuk dan kaku. Banyak pertanyaan muncul di kepalaku. Apa aku harus menjawabnya? Apa itu sapaan untukku? Apa mungkin dia ingin menyapa bunga-bunga taman? Tidak Mungkin, Drew!
“Halo, kak,” jawabku akhirnya meski ragu.
“Semangat ya, Drew,” ucapnya tersenyum.
Alisku terangkat. Well, kenapa tiba-tiba dia mengucapkan itu? Apa dia sengaja berdiri di situ hanya untuk mengatakan semangat? Dan kenapa dia tau nama panggilanku? Saat perkenalan jelas-jelas aku mengucapkan nama lengkap tanpa embel-embel nama panggilan. Bahkan kak Adam sempat memanggil nama depanku sebelum aku memintanya memanggil “Drewi” saja.
“Drewi?”