“Ketua apaan kamu itu. Sekarang aja sok-sok nyuruh kami ini itu. Kemarin-kemarin kenapa kami nggak diwarning kalau ada ibu Silaban?” Protesku pada ketua kelas, Wirja Sitepu. Dia menyuruh aku dan Shaniar sebagai perwakilan kelas jadi panitia acara natal sekolah yang beberapa bulan lagi akan dibentuk.
Wirja yang gossip-gossipnya telah menaruh harapan pada Shaniar sejak kelas 1 itu, hanya bisa tersenyum malu-malu. Itu membuatku dan Shaniar semakin panas.
Dulu waktu masih kelas satu, Wirja pernah menulis nama Shaniar di sampul belakang buku tulisnya. Ada nama Wirja di bawah nama Shaniar dan tanda Love di tengah-tengah nama mereka. Teman sebangku Wirja menemukan tulisan itu lalu mengolok-olok Wirja dan Shaniar. Jadilah mereka berdua menjadi pasangan baru yang sering digoda atau lebih tepatnya diolok-olok di kelas. Sampai naik kelas dua pun masih saja ada yang mengingatnya meski tidak seramai dulu. Aku ingat betapa stressnya Shaniar menghadapi olok-olokan “pengantin baru”. Dia sempat tidak mau keluar kelas selama beberapa hari dan aku yang sigap membelikannya makanan dan minuman ketika istirahat.
“Maaf, Drew. Ibu Silaban sudah duluan kasih kode. Maaf, yah.”
“Ck! Ah, udah Drew. Kita keluar ajalah. Makin emosi yang ada kalau di sini,” ucap Shaniar menarik tanganku keluar dari kelas.
Di kantin kami memesan bakso untuk meredam panasnya emosi. Bakso adalah makanan favorit kami dan bakso buatan ibu Shaniar adalah bakso paling enak nomor satu dalam daftar kami. Dulu saat kami baru berteman, aku sering datang bermain ke rumahnya setelah pulang gereja di hari Minggu. Ibu Shaniar pasti membuatkan bakso kuah dan cemilan lain yang sama enaknya. Sambil menunggu pesanan datang, kami kembali membahas perbuatan Wirja yang sudah membiarkan kami menjadi bahan tertawa siswa lain. Selain itu memang murni kesalahan kami tentunya.
“Nggak seru si Wirja ini.”
“Tau…padahalkan gossipnya dia suka samamu, Shan. Kenapa dia tega, ya?” Bukannya jawaban yang aku dapat malah kepalan tangan yang mendarat di kepalaku.
“Aw!”
“Aw aw aw, rasain. Bawa gossip nggak bermutu itu lagi.”
“Sakit tahu, Shan. Ih!” Aku tidak berhasil balas mencubitnya karena dia kabur.
Kukejar dia namun kak David dan rombongannya tiba-tiba muncul dari pintu. Mereka tertawa-tawa saling menunjuk-nunjuk satu sama lain. Nyaliku langsung ciut. Kuputuskan tidak melanjutkan mengejar Shaniar. Bayangan senyum kak David kemarin-kemarin itu masih kuat. Dampaknya juga masih kuat di pikiranku.
Ada hal yang baru aku ketahui, dan ini juga baru saja diceritakan oleh Shaniar beberapa hari setelah pertemuanku dengan kak David. Ternyata dia berteman dengan kak Adam, Adam Witjono, partner dramaku. Koneksinya benar-benak luas.
Oh oh, ternyata juga dengan Bownie Aleassen, bule Inggris brandalan sekolah. Dia juga berteman dengan Dani Megantara, yang dijuluki Albert Einsteinnya SMA kami -dia juga yang membimbing Shaniar di kelas ekskul musik-. OMG! dan Issano Livnich, langganan cover majalah bulanan sekolah. Walau cuma foto-foto candid.
Ke mana aku selama ini, sampai-sampai tidak tahu kalau ternyata ada satu genk yang berisi kumpulan pangeran-pangeran pencuci mata insan-insan jomblowati seperti ini di sekolah. Aku benar-benar tertinggal jauh dari perkembangan trend sekolah ini. Sangat berbeda dengan Shaniar, dia ibarat kata, ensiklopedianya gossip-gossip di sekolah. Aku hanya akan bertanya pada Shaniar kalau gossip yang kebetulan kudengar menarik perhatianku. Dia juga mungkin menyadari kalau aku seacuh itu pada kehidupan sekolah dan tidak pernah memaksaku mendengarkan gossip-gossip yang aku tidak tanyakan.
Demi spatulanya Spongebob, kembalikan waktuku di tahun-tahun sebelumnya yang terbuang tanpa mengetahui ini semua. Aku terlalu sibuk mengejar target nilai dan melupakan bahwa ada hal menarik lain selain nilai.
Apa karena mereka juga sangat jarang datang ke kantin Timur ini? Aku belum pernah sekalipun melihat mereka datang ke sini. Terlebih kantin ini -walau tidak ada peraturan tertulis- sudah seperti markasnya junior-junior dan siswa-siswa biasa di sekolah. Setidaknya itu menurut pengamatan terbatasku dan Shaniar. Anak-anak yang katanya populer sangat jarang datang kesini. Kami tidak pernah melihat mereka menginjakkan kaki ke sini. Tidak pernah ada yang jadi pusat perhatian di sini. Semua berjalan biasa saja.