“Ciee ada yang udah nggak sabar mau ketemu ibu Gempal. Aw!”
Kujitak kepala Shaniar yang berani-beraninya memfitnah. Aku tidak mau menjadi bahan olok-olokan ibu Silaban lagi, makanya cepat-cepat kumasukkan buku ke dalam tas.
“Sakit Drew....”
“Mau ditambah?” Kucoba menjitak kepalanya lagi namun secepat kilat dia menghindar.
“Eitt, nggak kena hahahha....”
“Udah, ah. Aku buru-buru ini. Nanti kena marah lagi sama ibu Gempal kalau terlambat. Bye bye Shan Shan,” aku melambaikan tangan sambil berlari keluar kelas menuju ruang ekskul teater. Latihan drama dipindahkan ke ruangan teater karena agar tidak perlu repot-repot membereskan meja dan kursi kelas.
“Semoga hari ini tidak ada olok-olokan lagi. Amin,” ucapku pada diri sendiri ketika berada di lorong kelas.
“Drewi,” sebuah suara dari belakang memanggil. Aku berbalik dan melihat kak Adam sedang berlari kearahku.
“Hai kak Adam.”
“Hai juga nona pesulap.”
Aku bingung sejenak lalu sedetik kemudian wajahku langsung berubah datar.
“Masih marah? Sudahlah Drew, Dani orangnya memang seperti itu. Kalau kamu sudah kenal dia dengan baik, kamu pasti akan terbiasa dengan sikapnya yang sarcasm itu.”
Aku tetap diam dan membiarkan dia berusaha mengikuti langkahku.
“Ada yang masih marah.”
“Udah, ah, kak. Nggak usah dibahas lagi. Emosi aku.”
“Ok, janji,” kak Adam mengacungkan jari kelingkingnya. Aku menyambut dengan kelingkingku juga setelah kutatap tajam dia beberapa saat.
Tidak terasa kami sudah sampai di depan ruangan teater. Bangunannya tidak terlalu besar. Ada taman melingkar dan sebuah kursi taman klasik terbuat dari besi di sebelah kiri bangunan.