“Drewi,” suara yang tidak asing menyebutkan namaku. Aku sedang duduk menatap jalanan kosong menunggu kak Adam di depan gerbang sekolah. Dia meninggalkan ponselnya yang sedang di charger di ruang OSIS. Kak Adam mengajakku pulang bersama setelah dia bertanya aku pulang dengan siapa. Tentu saja pulang sendiri karna Shaniar sudah pulang duluan. Suara yang tidak asing itu kak Dani Megantara. Masih kesal, tak kuhiraukan panggilannya.
“Drew, masih marah, ya?” Tanyanya. Dia menggaruk kepalanya sendiri menunggu jawaban.
“Aku mau minta maaf untuk yang kemarin di kantin, ya, Drew.” Kak Dani menyodorkan sebuah kotak coklat pekat berpita putih.
Aku menatapnya tidak mengerti. “Apa ini, kak?”
“Ini sebagai permintaan maaf karna....”
Aku tidak memperdulikan ucapan kak Dani selanjutnya. Ada kak David yang sedang berdiri jauh di seberang jalan sana melihat tanpa ekspresi. Tidak lama dia balik badan dan berjalan menjauh.
“Itu kaya David, ngapain dia?”
Aku mengangkat bahu. “Tanya aja sama kak David langsung. Kan kalian teman, kak. Kenapa malah nanya sama aku?”
“Sebenarnya kamu itu marah sama siapa, Drew? Aku atau David? Kalau pun kamu marah pada kami berdua, kok bisa? Kenapa hanya kami berdua?”
Aku terdiam dan berpikir sebentar. Sebenarnya ingin sekali aku protes karena pertanyaanya itu terlalu banyak. Berbelit-belit juga. Otakku yang sudah lelah setelah latihan drama tidak sanggup lagi menganalisa apapun. Tapi pasti dia akan mengolok-olok lagi nanti kalau kuutarakan protesku.
“Maksudnya, kak?”
“Maksudku, yang membuat kamu menangis kemarin di kantin, aku, bukan?. Jadi wajar kalau kamu marah samaku. Tapi kenapa kamu juga sepertinya marah pada David? Padahal waktu itu kami ada berlima di situ. Shaniar juga ikut tertawa, kan? Kalau pun kamu ingin marah, seharusnya kamu marah pada kami semua, bukan hanya pada kami berdua saja. Buktinya, kamu baik-baik saja berbicara dengan Adam.”
Oh...aku semakin bingung. Kau memang benar-benar Albert Einstein, kak Dani, atau mungkin IQku yang terlalu jongkok. Tolong beri aku soal-soal tentang DNA saja jangan pertanyaan filosofis seperti itu. Setidaknya filosofis menurutku karna sangat berbelit-belit.
“Ya, sudahlah sudah....Kamu malah semakin bingung. Ini sudah sore, lebih baik kamu pulangnya aku antar aja.”
“Tunggu kak, aku nungguin kak Adam dulu. Tadi kak Adam keruang OSIS sebentar.” Kucoba lepas tarikan tangannya namun tak berhasil. Kak Dani menarikku ke tempat tidak jauh dari gerbang, di mana sebuah motor berbadan besar warna hijau terparkir.
Tanpa memberikan kesempatan berbicara lagi, dia memakaikan helmku. Aku tidak berniat menolak, karena ini memang sudah hampir pukul 6 sore. Angkot pasti sudah jarang lewat. Jalanan ke halte juga pasti sudah sangat sepi.
***
Angin sore melewati tubuhku dengan kencang seiring melajunya motor. Aku masih belum bisa menghapus bayangan wajah tanpa ekspresi kak David. Dalam sehari dia sudah dua kali melakukannya. Aku memang keterlaluan. Aku harusnya mengontrol kegugupan ini, bukan malah menutupinya. Semakin kututupi malah semakin sedikit ruang untuk bisa berhadapan langsung dengannya. Hasilnya? Wajah tanpa ekspresi. Desir-desir kemarin berubah jadi cubitan berkali-kali.
“Sebaiknya aku harus minta maaf,” tekadku bulat. Akan tetapi aku tidak temukan alasan tepat yang terlihat serius dan cocok meminta maaf. Apa yang harus kulakukan agar permintaan maafku tidak terdengar aneh karena aku juga tidak tahu mengapa harus meminta maaf padanya. Jalan masuk apa yang tepat agar permintaan maafku terdengar wajar bukan mengada-ada, agar tidak terlihat seperti seseorang yang cari perhatian saja. Pikiranku semakin berkecamuk tak tentu. Abstrak sekali rasanya sedari kemarin-kemarin semenjak mengenal kak David.
***
“Sebenarnya David yang menyuruh minta maaf, Drew. Tapi bukan berarti aku nggak tulus. Trus, David juga penasaran, dia ada salah apa, sampai kamu cuekin dia.”
Ucapan kak Dani saat kami sudah sampai di depan rumah, sudah puluhan kali berputar ulang diotakku. Aku berusaha untuk menganalisisnya. Cuek? Cuek dari mana coba? Yang ada juga gugup kalau bertemu dia. Apa memang wajahku kelihatan jutek kalau lagi gugup? Masa sih sejutek itu sampai kak David jadi salah paham? Lagian memangnya kenapa kalau aku kelihatan jutek? Memangnya aku siapanya sampai-sampai aku tidak bisa kelihatan jutek di depannya? Ngobrol aja hanya baru sebatas hei dan tetap semangat.
“Aaarghhh! Aku bingung. Aku Frustasi. Oh, bantal guling kuuuuu.” Kugigit kesal bantal guling. Gemas sekali rasanya. Ingin sekali kutanyakan langsung pada kak David, tapi kembali lagi, atas dasar apa aku mempertanyakan itu? Kuyakin yang ada dia kan salah paham. Mungkin malah aku dianggap ke-GR-an? Caper? Kepalaku semakin berputar-putar.
Drrtt...drrt...
Handphoneku bergetar. Ada pesan masuk. Shaniar. Kulirik jam dinding, 22.15. Tumben dia belum tidur.
Drew blm tidur kan?
Gossip yuk :D
Read.
Memang sahabatku yang satu ini busyeet sekali kebiasaannya. Sekalinya bisa mengobrol malam-malam, kalau bukan karena masalah pribadi, pasti karena penyakit menggosipnya kambuh. Tapi lihat saja, tidak akan bertahan lama pasti. Paling 10 atau 20 menit lagi dia sudah ngorok.
Yuk, gossipin apa?
Gmn kalau gossipin si Monang Arthur Sijabat ajj :D.
Send.
***
Nama di atas adalah nama kakak kelas yang sudah lulus saat kami naik kelas dua. Dia atlet renang yang mendapatkan juara umum di pekan olahraga daerah. Shaniar sangat tergila-gila padanya. Bahkan dia membuat posternya diam-diam. Tak lupa ditempel di dinding kamarnya. Hanya aku, dia dan abang pembuat posternya yang tahu. Tuhan juga sudah pasti tahu.
Aku juga masih ingat bagaimana repotnya ketika membantu dia menguntit pangerannya itu. Bahkan rokku sampai robek saat kami sedang menguntitnya di warung bakso “Abang Man”.
Nama tempatnya memang sangat aneh. Tapi percaya tidak percaya warung bakso itu adalah warung bakso khusus couple dan penuh legenda. Entah apa yang mendasari legendanya, tapi katanya warung bakso Abang Man adalah tempat wajib di mana seseorang membawa cinta pertama atau pacar pertamanya untuk kencan pertama. Aku jadi bingung, kenapa tidak sekalian saja warung itu dinamai warung bakso “The First Love” atau “First Date” atau “First Boyfrien/Girlfirend” atau first first lainnya. Kenapa harus Abang Man?
Atau jangan-jangan di sana ada peristiwa di mana ada pasangan cinta pertama atau pacar pertama yang datang ke tempat itu lalu akhirnya berlanjut pada tahap yang serius sampai akhirnya mereka kakek nenek dan bahkan sampai maut memisahkan. Seperti kisah-kisah cinta sejati di luar negeri yang banyak di bangga-banggakan. Dan pasangan yang datang itu mungkin bernama abang Man dan pacarnya yang entah siapalah namanya. Maka dari situlah nama Abang Man tercetus. Mungkin!
Mungkin juga Abang Man justru nama pemilik warung bakso itu. Dia membuka warung bakso karena ingin mengenang cinta pertama sekaligus pacar pertama yang telah pergi meninggalkannya. Mungkin sang kekasih meninggal atau kawin lari dengan pria lain. Akhirnya, dia pun mendirikan warung bakso sebagai tanda keabadian cinta. Mungkin! Bisa saja mungkin ada hal-hal lain yang aku sendiri tidak tahu mengapa hal-hal lainnya itu muncul di kepalaku. Mungkin!.