Moodku hampir saja memburuk. Bayangkan saja, secara tiba-tiba tiga guru dari tiga mata pelajaran berbeda mengadakan kuis dalam satu hari. Aku dan Shaniar belum sempat curhat tentang kak Dani dan kak David. Shaniar sangat penasaran cerita dari POVku. Belum sempat kuceritakan kebodohanku mengabaikan kak David, kami sudah harus secepat kilat mempelajari kisi-kisi dari guru. Apalagi setelah kuis, kami harus kembali berpisah. Tempat latihan kami berbeda.
“Udah baikan sama Dani?”
Bagiku, pertanyaan kak Adam itu lebih seperti pertanyaan menggoda dari pada pertanyaan yang menunjukkan kepedulian. Di tengah-tengah ruangan yang luas ini ingin sekali aku menjitak kepalanya.
Kami sedang istirahat menunggu sesi evaluasi dari kak Amelia karena ibu Silaban sedang ada rapat guru. Jadi tidak ada ketegangan dan beban yang tampak dari kami semua. Free!. Meskipun tak sepenuhnya free bagiku. Kak David tidak ikut latihan. Dia ada urusan dengan pak Situmorang, kepala administrasi sekolah. Itu yang dikatakan kak Adam.
“Kak, emangnya kami pacaran makanya harus baikan?”
“Memangnya harus pacarana dulu baru baikan?”
“Kak, aku sudah capek sama naskah kita ini. Kalau kakak butuh orang untuk digoda-goda. Tolong godain tembok itu aja, kak. Biar puas.”
“Kalau sama David sudah baikan?”
“Kak Adam, tolong ya. Kepalaku pusing ini.”
Kak Adam tertawa meledek.
Rasaku benar-benar hampa. Semua terlihat datar dan tidak ada bumbu-bumbu yang memicu debaran jantung. Tidak ada rasa gugup seperti kemarin. Semua jadi serba terbalik. Saat kak David ada disini, aku berusaha menghindar. Tiba saat dia tidak ada disini, aku malah berharap dia muncul dan kembali mewarnai suasana hatiku.
“Nah, ini dia yang kita tunggu. Itu David sudah datang, Drew.” Refleks aku mengikuti telunjuk kak Adam. Kak David dan kak Amelia sedang berbicara serius. Tidak lama, dia meninggalkan kak Amel dan berjalan menuju ke tempatku dan kak Adam.
“Sepertinya aku harus angkat kaki dari sini. Takut mengganggu,” godanya lagi. Aku membelalakkan mata dan mencubit kakinya gemas.
“Aduh! Astaga, ternyata ada monster betina disini,” ucapnya yang kubalas dengan memonyongkan mulutku.
Alarm dan lampu merah berputar-putar kencang di kepala. Melihatnya berjalan menuju tempatku duduk, aku panik seketika. Kalau aku menghindar seperti kemarin-kemarin, pasti dia akan salah paham lagi. Kalau aku tetap di tempatku, aku tidak yakin apakah bisa mengontrol ekspresi wajah gugup agar tidak berubah jutek. Artinya, sama saja akan menambah kesalahpahamannya.
“Hai Drewi. Lancar latihannya?” tanyanya tersenyum sambil duduk disampingku dan meletakkan tasnya di belakang kami.
“Lancar, kak”