“Ada apa Shan?” tanyaku segera setelah bertemu Shaniar di bangku taman kelas.
“Mau ngasih ini.” Kotak berwarna coklat pekat dan berpita merah, dia sodorkan.
“Oh, ini.”
“Udah tahu?”
“Udah”
“Cie, aku nggak nyangka ternyata sahabatku yang cuek beibeh ini bisa ditembak dua cowo sekaligus.”
“Maksudnya?” Kedua alisku saling bertaut.
“Astaga, kau ini. Bukannya kamu ditembak sama kak Dani kemarin? Trus kado ini, kan, spesial dari kak David. Bukannya tadi udah tahu? Berarti kak David juga nembak kamu dong. Iya, kan?” Kedua alisnya naik turun. Aku mendengus pasrah. Inilah akibatnya jika kau terlambat curhat pada sahabatmu yang sok tahu yang sudah sangat terbiasa menggosip.
“Shan, biar aku jelaskan secara singkat padat dan merayap. Tapi cuma sekali aja karena aku ada janji sama seseorang.”
“Sama siapa?”
“Tentang itu nanti aku cerita lagi, ok?”
“Ok ok. Ya, sudah jelaskan. Cowok mana yang kamu pilih jadi pacar pertamamu?”
Aku menahan nafas kesal dan gemas. Shaniar hanya tertawa. Aku duduk disampingnya. Dia terdiam fokus dan mulai kuceritakan semuanya.
***
“Jadi gitu, Shan. Intinya, kemarin itu kak Dani cuma antar aku pulang. Itu aja. Dan satu lagi, kado ini setahuku kado dari kak Dani untuk permintaan maafnya. Kemarin aku lupa ambil, karna dia buru-buru antarin aku pulang. Titik. Sampai disitu. Aku mau pergi dulu, karena sudah ditungguin. Bye.”
“Tunggu Drew,” Shaniar menarik tanganku.
“Ini bukan dari kak Dani. Kado ini dari kak David. Kemarin kak David sampai menelepon aku berkali-kali untuk bantu mencarikan kado ini.”
Aku terdiam tidak mengerti. “Masa sih? Tapi kemarin kak Dani ngasih kado yang kaya gini juga.”
“Serius. Ada fotonya dikirim kak David.” Shaniar memperlihatkan foto kado persis seperti kado yang diberikan kak Dani. Bedanya kak David memasangkan pita merah di atas kado itu.
“Heh, malah makin bingung. Udah sana, bukannya tadi ada urusan?”
Pertanyaan Shaniar buyarkan bingungku. “Aish...aku pergi dulu, Shan. Bye.” Panik, aku pun lari membawa semua bingung, semua pertanyaan. Nanti malam saja kutanyakan lagi pada Shaniar. Hari ini hariku harus sempurna.
***
“Itu dia,” ucapku pelan melihat kak David sedang menunggu di depan gerbang.
Aku memperlambat langkah, merapikan rambut, pakaian dan melatih senyuman termanisku. Walau masih bingung dengan kado yang sudah ada dalam tasku, tapi lebih baik segala resah kusingkirkan dulu. Siapa tahu dia, si Lesung Pipi akan menceritakannya nanti saat di perjalanan. Aku bahkan sampai lupa meminta kertas pembersih minyak wajah Shaniar. Ya, sudahlah. Biar saja pertemuan pertama diiringi dengan wajah berminyak. Besok-besok aku harus ajak ibu beli perlengkapan anti minyak di wajah.
“Hai, kak,” sapaku dengan suara lembut. Kuatur jadi lembut lebih tepatnya untuk jaga image. Biasalah.
“Hai, Drewi. Akhirnya datang juga kamu.”
“Maaf agak lama, kak. Tadi ada yang mau dibicarakan sama Shaniar.”
Anggukan kepalanya tenangkan gelisahku. Dia mengangkat dua minuman milkshake dari belakang tubuhnya. Aku tersenyum. Sangat-sangat tersenyum. Dia benar-benar serius untuk mengajakku pulang bersama.
Langkah pertama kami sangat canggung. Di langkah-langkah berikutnya beberapa kali kami tak sengaja bicara bersamaan. Kadang bersamaan diam juga. Untung saja ada milkshake jadi penengah tiap kali kami kehabisan topik.
“Kamu sudah tidak marah lagi, kan, Drew?” Tanyanya ketika kami sudah dekat halte tempat aku dan Shaniar biasa menunggu angkot kalau sudah sore. Entah sudah berapa kali kata marah terdengar darinya beberapa hari ini.
Aku menggelengkan kepala sambil tetap minum dari sedotan. Dia tersenyum lalu mengangguk mengerti. Aku melepas sedotan itu dari mulutku kemudian. Aku harus jelaskan kesalahpahaman di antara kami.
“Kak Daninya juga sudah minta maaf. Jadi nggak ada alasan lagi untuk marah”