Tanpa Kata

Mayhtt
Chapter #17

Jam Tangan

Langkahku pelan, kepalaku menunduk lesu. Di dalam ruang latihan bu Silaban sedang memberi pengarahan kepada kelompok pemeran warga pribumi. Aku terlambat beberapa menit karena harus membantu ibu Tarigan menulis nilai kuis kelas ke dalam buku nilai. Untung saja ibu Tarigan sudah meminta izin bu Silaban sebelumnya, kalau tidak pasti aku sudah jadi bulan-bulanan.

Sementara di sisi lain, kak David asik tertawa bersama teman-teman pemeran tentara lainnya. Entah apa yang mereka bicarakan. Ada denyut nyeri saat melihatnya. Aku mempercepat langkah karena takut denyut semakin terasa bila berlama-lama menatapnya.

Ini kali pertama aku melihatnya lagi setelah pulang bersama waktu itu. Guru-guru sedang mempersiapkan pernak-pernik kepengurusan untuk Pensi nanti dan latihan pun ditiadakan selama satu minggu. Sudah selama itu juga cerita Shaniar menggantung di otakku. Sudah seminggu juga aku penasaran akan bagaimana akhir dari perasaan ini.

Shaniar sangat tahu moodku dengan tidak membicarakan atau bertanya tentang kak David. Aku juga berusaha menghindar kalau-kalau bertemu kak David karna bisa saja di segala situasi tidak sengaja bertemu. Aku memilih berdiam saja di kelas kalau tidak ada urusan yang penting. Shaniar pun berlapang dada kutitip jajanan.

Bila sudah sangat bosan, aku duduk di taman kelas atau di teras Lab IPA yang tak jauh dari kelas. Kak David jurusan IPS jadi kecil kemungkinan dia ke lab IPA. Novel-novel teenlit koleksiku jadi penghapus bosan dan gelisah. Selain itu aku juga ingin mencari penguatan walau seringnya malah semakin iri dengan cerita romansa para tokohnya. Setidaknya, waktu berlalu tanpa terasa.

Kadang kutidurkan kepalaku beralaskan tas di atas meja dan tidak menimpali obrolan Shaniar. Aku hanya melihat saja dia berbicara sementara isi kepalaku berkecamuk. Energiku habis seketika karna rasa cemburu ini. Kukira, mungkin, energiku yang habis karena cemburu sama besarnya dengan energiku yang terisi saat jatuh cinta di awal. Mungkin malah hilang lebih banyak maka tak ada tersisa sedikit pun. Untuk beraktivitas normal saja rasanya ingin cepat-cepat selesai.


Kak Adam kali ini tidak datang latihan. Aku sudah mengedarkan pandangan beberapa kali dan belum menemukan batang hidungnya. Sambil menunggu giliran, aku memainkan game di handphone. 

“Sendirian aja, Drew?”

“Iya kak,” aku menjawab singkat kak David yang sudah duduk di sampingku. Entah kenapa suara yang kemarin-kemarin terdengar sangat merdu itu, kini berubah menyebalkan. Aku lanjut bermain game. Rasa cemburu masih membakar energiku. Tidak ada sisa bermanis-manis ria.

“Kamu dulu di kelas 10-A, bukan?”

“Iya, 10-A, kak.”

“Berarti pernah satu kelas sama Agitha?”

Aktivitasku langsung berhenti. Cemburu ini sudah di ambang batas namun harus kutahan sekuat tenaga dan kuhempas nafas pelan, “Agitha Aristia?”

Dia mengangguk.

Lihat selengkapnya