Debu terbang menyala kelap kelip indah terkena sinar matahari dari pintu dan jendela teater. Sapu mengesek lantai dan boom! debu semakin banyak. Kelap-kelip pun semakin indah. Meski Briana terbatuk karena debu itu, tak pecah konsentrasiku menyaksikan tarian debu berlatar cahaya matahari. Kak Adam, aku dan dua orang lainnya pulang latihan sedikit lebih lama karna harus membereskan peralatan-peralatan drama. Semua peserta drama memang sudah di bagi beberapa kelompok dan bergiliran membereskan ruangan setelah latihan.
Tidak hanya tarian debu jadi pemandangan indahku, aku merapikan beberapa kursi bersama detak jantung tak tentu. Detak jantung itu juga jadi soundtrack pengiring tarian debu. Sementara, di dalam kepalaku nasehat Shaniar bercampur dengan khayalan sebentar lagi kak David akan meminta nomorku. Hingga hatiku pun menyimpulkan tanpa ragu bahwa dia juga pasti memiliki rasa yang sama.
Namun, sedetik kemudian logika menyerang semua dan memisahkan pergulatan.
“Kalau pun dia meminta nomormu, apa sudah pasti dia akan menghubungimu?” tembaknya sangat keras. Sang logika hunuskan pedang tepat di jantung.
“Bisa saja nomormu berakhir jadi koleksi di daftar kontak. Kau taulah yang suka dia pasti bukan hanya kau, Drewi. Pasti banyak orang yang dia gituin juga. Memangnya siapa kau merasa sangat spesial?”
“Sadarlah Drewi. Kalian baru berkenalan. Agitha saja sudah bertahun-tahun bersamanya. Apalah arti hubungan kalian yang masih mentah itu. Sebelum terlalu jauh, coba kau tanya diri sendiri, memangnya sudah pasti dia akan meminta nomormu nanti? Jangan-jangan paling hanya minum milkshake dan mengobrol tidak jelas. Jangan langsung GR dululah.” Jantungku bocor menyemburkan darah sesaat setelah sang logika menarik pedang ucapan-ucapan. Susah payah aku fokus dan tenang agar tetap terlihat normal di depan kak Adam dan yang lainnya. Kujalani sesi beres-beres itu dengan menarik nafas dalam beberapa kali.
Masih dengan isi kepala gaduh riuh, tidak terasa lapangan sekolah pun sudah kusebrangi. Kakiku otomatis melambat begitu kak David berdiri sambutku dengan milkshake lagi. Ditambah lagi service senyumnya yang masih saja menawan meski tak bisa tenangkan gelisah.
“Adam mana?”
“Ke ruang OSIS, kak. Katanya ada kerjaan. Aku disuruh pulang duluan.”
“Kamu kenapa, Drew? Sakit? Capek?”
“Enggak, sehat-sehat aja, kak”
“Tapi wajahmu pucat. Kamu sakit?” Tanpa izin tangannya menempel di keningku dan duarrr!!! terhempaslah semua energi. Kali ini bukan karna cemburu tapi karna cinta.
“Normal. Enggak panas.”
“Emang normal, kak. Aku nggak sakit,” nadaku protes tak terima.
Kak David tertawa. “Peace, Drew,” dia sukses mengerjaiku. Cairlah suasana dan tenanglah badai gelisah di hati. Sekali lagi, kak David berhasil tenangkan gelisahku.
Kak David menarik tanganku agar berjalan di sisi kirinya seperti biasa. Ada kue mini brownies jadi pelengkap menggantikan kue muffin dia sisipkan ke tanganku.
“Tadi aku kurang cepat ke kantinnya. Muffinnya sudah habis. Maaf, ya.”
“Justru aku yang maaf jadi kakak yang traktir terus. Besok-besok harus gantian aku yang traktir.”
“Enggak usah, Drew, biar aku aja. Aku yang ajak kamu pulang bareng.”
“Tapi aku diajari sama bunda nggak boleh bikin orang repot. Justru harus sering-sering bantu orang lain, gitu.”
“Aku nggak merasa repot. Justru aku senang traktir kamu makan, minum kalau perlu kamu mau jalan ke mana, biar aku yang traktir.”
“Tapi aku orangnya nggak enakan. Aku traktir kapan-kapan atau next kita pulang bareng lagi, ya, kak.”
“Hmm…sebenarnya ada hal yang bisa kamu bantu selain traktir, Drew.”