SMA Dharma Bangsa adalah salah satu dream come true bagiku. Sebelumnya, tekadku begitu kuat untuk jadi siswa SMA Negeri 21 Sidikalang. SMA paling favorit se-kabupaten Dairi. Namanya harum sampai tingkat provinsi dan nasional karena banyak menghasilkan alumni sukses masuk perguruan tinggi negeri bergengsi. Menguasai pemenang olimpiade mulai dari tingkat kecamatan, kabupaten hingga provinsi.
Selain karena favorit, jarak SMA 21 ke rumahku juga dekat. Orang tuaku tidak mengizinkan aku mendaftar ke SMA Negeri lain karena jaraknya terlalu jauh. Namun sayangnya, nilaiku pada tes ujian masuk ada di peringkat 153 dari 150 kuota. Pupuslah harapanku.
Awalnya aku menolak mendaftar sekolah swasta. Stereotip negatif akan SMA Swasta banyak beredar selama bimbingan kelulusan SMP. Bersekolah di SMA Negeri bisa angkat martabat siswa yang lulus. Begitulah doktrin yang sering kudengar.
Setelah terpaksa survey ke sekolah swasta, jatuhlah pilihanku pada sekolah yang ke tiga. SMA Dharma Bangsa. Hanya sekali angkot dan turun persis di depan rumahku. SMA Dharma Bangsa berhasil buka stereotip negatif SMA Swasta yang sebelumnya kupegang teguh. Dari brosur sekolah, aku dan keluargaku yakin program-program pembelajarannya sangat bagus. Walau dari segi prestasi berada diperingkat 5 tapi menurutku lingkungan belajarnya sangat baik. Mulai dari ruangan kelasnya bagus, terawat dan lebih modern bila dibandingkan dengan sekolah-sekolah lain yang pernah kukunjungi, termasuk SMA negeri 21 Sidikalang.
Ayah sempat khawatir. Menurutnya kredibilitas SMA Dharma Bangsa kurang baik jika dilihat dari siswa yang menang olimpiade yang jumlahnya tidak sampai 10 orang. Kebanyakan menang pertandingan olahraga saja. Ayah sempat juga ingin membantu dengan menghubungi kenalannya yang bekerja di SMA Negeri 21 Sidikalang tapi segera aku tolak. Aku ingin masuk sekolah pilihanku dengan tenang dan bersih tanpa perasaan bersalah. Kalau memang kemampuanku segitu, ya sudah, tak perlu ada yang harus ditambah atau dikurang. Masih banyak tempat lain yang bisa menjadi tempat untuk menuntut ilmu. Tinggal bagaimana sikap kita menghadapi dan menjalani saja.
Terlepas apakah 150 siswa itu semuanya murni atau tidak, aku tidak mau ambil pusing. Sekolah seharusnya tempat untuk menuntut ilmu, bukan untuk bersaing. Tempat untuk memuaskan dahaga kita yang ingin belajar bukan untuk gengsi-gengsian. Sekolah haruslah pilihan kita sendiri, bukan tuntutan dari siapapun. Beruntung sekali aku mempunyai orang tua yang bisa dan mau memahami pemikiranku itu.
Ketika aku menemukan sekolah ini dan melihat fasilitasnya serta rindangnya halaman-halaman setiap kelas, aku yakin SMA Dharma Bangsalah pilihanku. Saat itu ayah yang sempat ragu, kuyakinkan dengan deskipsi bangunan perpustakaan yang unik yang pastinya akan jadi penyemangatku belajar. Ayah pun mengiyakan setelah banyak lagi yang kudeskripsikan untuk menarik perhatiannya.. Aku sangat bangga padanya karna dia selalu bisa menghargai pilihanku. Bunda dan Rio pun mendukung dengan memberikan jempol mereka. Dukungan mereka jugalah yang antarkanku jadi siswa SMA Dharma Bangsa.
Ada satu hal lagi yang membuatku semakin yakin masuk ke SMA Darma Bangsa. Pada lembar ke dua selebaran promosi sekolah ada tertulis : Buku-buku di perpustakaan diupdate setiap 3 bulan sekali dengan buku baru. Tulisannya tidak menonjol tapi sukses menarik perhatianku. Baru sekolah ini yang memasukkan fasilitas sedetil itu dalam brosurnya. Betapa menyenangkannya membaca buku baru tanpa harus susah-susah membeli dan mengoleksi di kamarku. Tidak akan kusia-siakan kesempatan bagus itu.
Memasuki perpustakaan untuk pertamakalinya setelah sah menjadi siswa, aku tidak mencium bau lapuk dan debu sedikit pun. Lantainya sangat bersih, keset dan tidak berbau karbol. Rak-raknya kokoh dengan buku-buku yang tersusun gagah. Meja dan kursi disusun sedemikian rupa. Ruangan yang sejuk dan samar-samar tercium harum aromaterapi yang menenangkan tidak membuat pusing kepala, membuat siapa saja pecinta buku akan betah. Petugas perpustakaan, Kak Mira, selalu menyambut ramah. Tidak galak dan cemberut seperti petugas perpustakaan pada umumnya. Kami bahkan akrab dari hari pertama karna sama-sama suka buku. Beberapakali aku jadi asistennya menyusun buku-buku yang baru datang. Semua yang ada di dalam bangunan unik perpustakaan itu benar-benar sangat senada.
Shaniar walau sudah kubujuk seperti apapun tetap tidak mau datang. Berbeda denganku, dia mengaku alergi dengan buku dan suasana sepi perpustakaan. Dia hanya pernah sekali datang itu pun tidak sampai 10 menit. Aku memakluminya. Tidak semua orang harus sama sepertiku. Terlebih dia sahabatku. Dia lebih memilih menghabiskan waktunya di kantin ketika aku sedang di perpustakaan. Lebih tepatnya “bersemedi di perpustakaan,” itu kata Shaniar.
Tidak setiap hari aku berkunjung. Seminggu hanya tiga sampai empat kali. Kunjungan wajibku adalah setiap minggu kedua pada bulan pertama, 3 bulan sekali. Hari di mana buku baru datang. Hari di mana aku jadi asisten dadakan kak Mira. Hari di mana aku sangat sukarela membantu menyusun buku-buku. Tidak perlu dibayar, kataku pada kak Mira saat pertamakali dia memintaku membantu. Cukup izinkan saja aku membaca buku-buku yang baru datang, hanya itulah syaratnya. Anggukannya jadi penanda sah kontrak tidak tertulis antara kami.
***
“Drewiiii” teriak kak Mira pelan lebih seperti berbisik kencang ketika melihatku memasuki perpustakaan. Tangannya melambai-lambai di udara. Senyumku merekah. Hari ini, tepat minggu ke dua, buku-buku baru sudah datang. Kami berdua harus memulai ritual sakral. Membuka box besar dan mengeluarkan buku-buku bercahaya indah dari dalamnya. Lalu memilah-milah sesuai tema. Hingga sampailah ke puncak ritual, memilih buku-buku untuk kami baca sendiri. Buku-buku baru, terbitan baru untuk kami baca duluan. Jika buku-buku baru itu tidak sempat kami baca semua, ada box rahasia tempat menyimpannya. Box rahasia yang hanya kami berdua saja yang tahu. Privilage inilah yang kudapatkan sebagai salah satu penghuni tetap perpustakaan.
Tapi, kali ini tidak. Tidak hanya kami berdua. Ada seseorang lagi yang sudah dengan lancangnya membuka kardus-kardus besar itu. Seharusnya itu menjadi tugas istimewaku. Siswa laki-laki bertopi hitam hadiah dari penerbit terbesar di Indonesia menghiasi kepalanya. Topi itu sudah pasti bonus merchandise yang seharusnya jadi milikku atau kak Mira. Kami biasanya suit batu gunting kertas untuk tentukan siapa yang berhak memiliki merchandise-merchandise itu.
“David, kenalin ini Drewi, dia asisten istimewa dan spesial yang kakak ceritakan tadi.”
Tercekat dadaku seketika. Kak David si Lesung Pipi.
“Hai, Drew.”
Aku teringat SMS darinya yang belum kubaca. Aku bangun kesiangan dan harus membersihkan kamar mandi karena pintu gerbang sudah ditutup ketika aku baru saja turun dari angkot. Dia hadir di saat yang tepat sekali mengobati semua kelelahan ini. Walau dia jugalah pemicu masalah itu muncul.
“Waw, kalian sudah saling kenal, Drew?”
“Sudah kak. Kami main drama di Pensi nanti.”
“Ok. Bagus berarti menghemat waktu. Kakak mau ke ruangan kepsek dulu. Mau laporan semua data-data buku baru. Kalian bisa kakak tinggal, kan?”
“Siap 86, kak.”
“Siap kak Mira,” ucapku menimpali kak David.