Awan dan matahari pagi terlihat sedang berbincang satu sama lain beralaskan langit biru cerah. Mereka seolah-olah sedang membicarakan penampilanku yang sedikit lebih feminim dari biasanya. Hari Minggu, hari di mana penampilanku sangat berbeda dari hari biasa. Hari Minggu, hari di mana aku datang ke rumah Tuhan dengan tidak hanya pakaian terbaik, juga niat yang terbaik.
Aku memakai dress putih selutut dengan renda-renda kecil di bagian lengan, sepatu flatshoes merah muda pastel dan tas kecil berwarna merah muda senada berisikan, Alkitab yang tidak muat sepenuhnya di dalam, buku laporan ibadah dan dompet. Angin kecil meniup juntaian dress yang tertahan oleh tas kecilku.
Di teras Gereja aku sedang menunggu Shaniar yang tak kunjung datang. Malah kak David muncul dari gerbang besar gereja dengan motor yang sama dia pakai ke sekolah. Pertama kalinya aku melihatnya di Gereja tempatku sedari kecil beribadah.
Kemeja putih polos bersih dan celana jeans hitam pekat serta sneaker hitam bersol putih yang dipakainya membuatnya terlihat berbeda dan menawan. Sederhana sekali tapi sangat menawan. Rambut tebalnya dibelah pinggir tersisir rapi. Wajahnya segar cerah membuatnya menonjol dari orang-orang dia lewati saat berjalan mendekat. Pesona lesung pipinya tetap jadi senjata ampuh menyempurnakan semua kharismanya.
“Selamat hari Minggu, Drew.”
“Selamat hari Minggu juga, kak.”
“Lagi menunggu siapa?”
“Lagi nungguin Shaniar kak. Katanya udah sampai dari tadi, tapi nggak muncul-muncul juga.”
“Tadi di jalan aku lihat Shaniar sama Adam di warung.”
“Ngapain di warung, kak?”
“Beli permen mungkin?”
“Kok tumben? Biasanya juga aku yang bawa permen.”
“Sambil menukar uang kecil untuk persembahan mungkin.”
Kukeluarkan dompetku dan kuperlihatkan isinya yang penuh pecahan lima ribu dan sepuluh ribu. “Biasanya aku yang tukar, kak. Shaniar tinggal tukar sendiri dari dompetku.”
Dia menggaruk belakang kepalanya, mungkin kehabisan kemungkinan-kemungkinan lain.