Tanpa Kata

Mayhtt
Chapter #23

Hujan Utusan Semesta

Motor Melaju kencang membawa kami berdua. Shaniar dan Kak Adam juga berboncengan mengikuti di belakang. Setelah berganti pakaian di toilet Gereja, Shaniar memasukkan dress putihku dan dress coklatnya ke dalam tote bag yang sengaja dia bawa lalu disimpan kedalam bagasi motor kak David. Lagi-lagi kak David membuatku merona malu saat akan menaiki motornya. Dia mengatakan bahwa apapun yang kupakai terlihat cocok dan membuatku semakin terlihat cantik. Kucubit saja lengannya sebagai ucapan terimakasih.

Sesuai rencana sebelumnya, kami pergi berkumpul menuju rumah kak Dani yang ternyata tidak jauh dari sekolah. Di seberang gerbang sekolah ada tiga arah jalan.  Melalui arah lurus ada jalan sedikit menurun dengan tiang plank berwarna hijau menancap di sisi kanan simpang. Gereja Karo yang persis di Seberang sekolah adalah bangunan utama persis dipinggir jalan sebelum turunan. Sebuah rumah kayu minimalis modern berwarna kuning lembut dengan garis-garis coklat senada terletak di samping lapangan Gereja, itulah rumah kak Dani.

Aku dan Shaniar baru tau kalau rumah kak Dani sedekat itu. Rumahnya lumayan besar dan sebuah pendopo kecil di samping. Setelah rumah, lurus beberapa ratus meter, ada pertigaan lagi. Satu jalan ke arah kiri adalah jalan menuju TK Bhayangkari. Tempat di mana Shaniar tempo hari menceritakan tentang kak David dan Agitha.

“Dani di lapangan sekolah,” teriak seorang pria yang sekilas wajahnya mirip kak Dani. Hanya saja dia lebih tinggi jangkung. Kami pun berpamitan pergi menuju sekolah.

Di lapangan sekolah, kak Dani, kak Bownie dan kak Issano sedang bermain sepeda mengitari lapangan. Mereka mengikuti aku dan Shaniar ke teras Aula sementara kak Adam dan kak David memarkirkan motor.

“Wohoo...ada yang mau double date.

“Waah...kalah si Ownie. Cuma dia yang masih jomblo.” 

At least pernah pacaranlah. Memangnya kau jomblo menahun.”

Kak Bownie dan kak Issano saling menyindir satu sama lain membuat suasana jadi ribut. Sementara aku dan Shaniar saling pandang, canggung karna ini moment yang tidak kami sangka-sangka sebelumnya. Bertemu mereka semua dalam satu kesempatan. Shaniar memegang tanganku kencang untuk meredam bom yang sudah meledak di dalam hatinya.

Kak Dani sedang berbicara dengan kak Adam dan kak Dani tak jauh dari tempa kami duduk. Mereka membawa beberapa tas hitam dan mengeluarkan beberapa barang dari sana. Setelah semua sepeda dan atribut-atribut lainnya lengkap, aku dan Shaniar yang sedang duduk di teras aula, dipanggil oleh kak Adam berkumpul di tengah lapangan.

“Dan, titip Drewi, ya.”

“Siap, mamen. Tenang aja, aman”

“Cuma Drewi aja yang dititip, Dave? Shaniar?”

“Akh, si Adam ini perlu di kasih paham.” Kak Dani memukul pundak kak Adam lalu menirukan gaya dua orang yang hendak berciuman dengan kak Bownie. Kak Issano sigap membubarkan dan kami pun tertawa melihat tingkah lucu itu. Sejujurnya aku malah malu. Lebih malu lagi begitu melihat wajah kak David memerah. Wajahku mungkin lebih merah lagi.

“Memang mahkluk mesum kau ini Dani. Trus, yang namanya Andrewi yang mana?”

“Saya, kak,” ujarku pada kak Bownie.

“Hm...lumayan.”

“Ownie...”

“Apa, Dave? Cuma bilang lumayan aja, belum ada kugoda.” Yang lain ikut menimpali mendukung kak Bownie. Kami berdua bertambah malu.

“Berarti kamu yang namanya Shaniar?”

Lihat selengkapnya