Tanpa Kata

Mayhtt
Chapter #24

Setengah Batak

Tetesan-tetesan air masih betah menempel di patung TB Simatupang dan patung Liberty Manik. Patung musisi batak berwarna emas, yang berdiri gagah di pelataran Letter S. Sebagian tetesan-tetesan air itu jatuh ke podium patung.

Warung kecil di dalam mobil hitam yang sudah dimodifikasi, berada di salah satu sudut pelataran. Pemilik warung terkantuk-kantuk berselimut hijau gelap tebal berbulu. Sebelum naik, kak David membeli donat couple dari warung itu. Senyumku melebar kala pemilik warung menggoda kami berdua.

Pemandangan kota sumbul dari atas bukit Letter S sangat indah walau sedikit tertutup kabut. Kak David dan aku duduk di bawah saung beton yang lumayan luas. Tempat ini dinamakan bukit Letter S karna ada jalan berkelok menurun di depan bukit berbentuk huruf S.

Di samping bukit ada pintu masuk belakang TWI berhiaskan gapura besar melengkung. Di bagian atasnya bertuliskan Taman Wisata Iman Dairi dengan patung cicak di sisi kiri dan kanan tulisan. Di bukit inilahs biasanya tempat insan-insan muda yang sedang jatuh cinta berbincang-bincang setelah atau sebelum masuk ke TWI. Pohon-pohon hijau rimbun dan tinggi menyambut setelah melewati gapura begitu juga di sekitar pelataran patung monumen. Kami belum masuk ke dalam taman karna jalanan yang masih licin.

“Padahal kalau cerah bagus ini buat sepedaan.”

“Iya, kak. Aku mau ke bukit Golgota juga. Biasanya aku suka foto di sana. Trus sekalian berdoa juga di ruang doanya.”

“Sama. Aku juga suka berdoa di sana.”

“Di sana suasananya beda aja gitu kalau berdoa. Padahal ruang doa lain masih banyak.”

“Iya, lebih tenang. Ruang doa di dekat taman bermain juga bagus.”

“Yang dekat tanjakan cinta itu, kak?”

Dia mengangguk.

“Trus, kakak suka tempat yang mana lagi?”

“Gerbang Bali juga bagus. Kami suka foto-foto di sana. Soalnya sudah seperti di Bali kalau foto di depan gerbangnya yang besar, tinggi, itu” tangannya memperagakan di udara seolah-olah gerbang besar itu ada di sana. Aku tertawa melihat caranya bercerita. Semakin lama rasa nyaman semakin nyata dan lepas.

“Kalau foto-foto, aku sukanya ke Air Terjun Lae Pandaroh atau ke goa Patung bunda Maria.”

“Waaah, itu memang sudah jadi tempat foto wajib. Semua orang yang datang kesini pasti punya foto di Goa itu.”

“Betul. Di Bukit Golgota juga.”

“Di Bahtera Nuh apalagi.”

“Di Mini Zoo.”

“Via Dolorossa.”

“Vihara.”

“Masjid.”

“Waduh, udah semuanya aja. Semuanya bagus buat foto-foto.”

“Betul betul,” jempolnya teracung. Kami tertawa renyah.

“Eh ada satu lagi, Drew. Tapi ini kamu pasti nggak, tau.”

“Apa, kak? Masa aku nggak tau? Dari kecil aku sudah sering datang ke sini. Jadi nggak mungkin aku nggak tau tempatnya.”

“Ada. Di sana ada tanjakan. Namanya tanjakan cinta.”

“Tanjakan cinta?”

“Iya, itu kami yang buat namanya. Dulu si Ownie pernah menembak kakakku di sini. Kakakku namanya Diva. Di dekat patung TB Simatupang di bawah sana, Bownie nembak dia, Drew. Nekat memang itu anak.”

“Slengean juga, kak.”

“Betul. Tapi kakakku, malah menantang dia lomba naik ke tanjakan itu pake sepeda. 5 kali berturut-turut tanpa istirahat. Ownie yang tidak bisa bawa sepeda tetap keras kepala. Ngeyel.” Dia berhenti sebentar meminum air mineral.

“Akhirnya, Drew, belum sampai atas. Masih dibawah. Dia sudah oleng duluan. Jatuh. Tangan dan kakinya kena baret aspal. Kami semua ketawa-ketawa aja melihat dia,”

Aku pun ikut tertawa. Rasa penasaranku pun muncul ingin tahu tentang keluarganya. “Trus akhirnya kak Diva gimana, kak?”

“Dia ikut ketawalah. Diejekin malah. Setelah itu langsung pergi gitu aja pulang. Kami makin ketawalah melihat si Bownie. Sudah gagal, jatuh, ditinggalkan pula.”

“Kasihan tapi, kak,” ucapku di tengah-tengah tawa kami.

“Kan sudah di kasih peringatan, Drew. Emang orangnya aja ngeyelan.”

“Kak Bownie bukannya pernah digosipkan nembak cewek di taman dekat Gedung teater juga, ka?”

“Iya. Cewe yang ditembak kak Diva juga.”

“Serius?”

“Dia memang sudah cinta mati sama kak Diva. Tapi kak Diva sudah pacar di Bandung, makanya dia tidak pernah merespon Bownie.”

Lihat selengkapnya