Sepanjang obrolan setelah Agitha datang dan duduk bersama kami, aku kebanyakan hanya diam saja. Sesekali menimpali kalau namaku disebut atau ikut tertawa ala kadarnya. Shaniar yang sudah terserang virus cinta pada kak Adam -dia sudah pasti tidak akan melewatkan kesempatan duduk di samping kak Adam- terlihat biasa saja dan malah ikut-ikutan heboh. Pembicaraan seperti berpusat pada si Nenek Tapir karna dia juga sangat heboh membahas ini itu. Suaranya melengking imut dibuat-buat. Pengaturan!. Gesturnya juga seperti ingin menguasai semua perhatian orang-orang di sekelilingnya. Setidaknya itu yang kulihat dan rasakan. Pembicaran jadi sangat membosankan bagiku.
Aku sangat tidak menyukai kehadirannya tapi mungkin karna itu juga aku bisa menangkap detil gelagatnya. Gelagat-gelagat itu mencerminkan alasannya datang membaur. Dia menceritakan betapa bahagianya dia hujan sudah berhenti turun dan bisa menyusul kami. Bahagianya semakin bertambah saat dia bertemu rombongan kak Adam di tengah perjalanan dan berhasil membujuk mereka untuk kembali melanjutkan perjalanan bersama-sama. Dia sebenarnya tidak ikut dalam agenda bersepeda karena tidak suka panas-panasan, katanya. Tapi akhirnay berubah pikiran entah karna apa saat kak Frans- kakaknya kak Adam- memberitahu kami ada di TWI. Entah kenapa aku bisa sepercaya diri ini merasa bahwa dia memang sengaja datang untuk menggangguku. Ingin menunjukkan sesuatu padaku. Kekuasannya.
Tengah asyik menganalisa keadaan, aku dan kak David bertemu pandang lagi. Sepasang bola matanya itu seksama sekali. Perhatianku beralih ke arah lain tidak mau berlama-lama membalas tatap. Aku takut kesalku terpancar dari mata hingga membuatnya illfeel. Semoga dia tidak tahu suasana hatiku. Sementara orang-orang di depan kami yang sudah membuyarkan sesi curhat kami, masih saja sibuk tertawa-tawa bercerita entah apa. Rasa kesal semakin menjalariku.
“Drew, mau ke tanjakan cinta sekarang?”
“Kak Dave, jangan. Enggak boleh,” timpal Agitha dengan nada mengancam mengganggu pertanyaan yang sudah kutuggu-tunggu sedari tadi agar bisa keluar dari rasa kesal ini. Lagi-lagi dia berusaha menunjukkan kekuasannya. Aku tahu mereka punya hubungan dekat sampai ke keluarga mereka tapi dia sungguh tidak mungkin sejauh itu untuk bisa melarang-larang kak David. Siapa dia melarang-larang pangeranku. Mereka bersitatap tegang dan aku memperhatikan mereka bergantian. Suasana menjadi diam seketika.
“Aku tanya Drewi bukan kamu Git.”
“Kak Dave, plis.”
“Kami naik motor bukan sepedaan.”
“Ohh ok. Aku kira naik sepeda.”
Perdebatan mereka berakhir dan dia melihatku kembali meminta jawaban dari matanya. Aku yang sudah tidak betah menganggukkan kepala. Dia menggandeng tanganku dan mereka berteriak heboh kecuali Agitha. Dia terdiam mengalihkan wajah. Itu sangat ketara di mataku. Kekalahannya maksudku.
Kami bersama-sama menuruni tangga, melewati patung-patung yang seperti menyapaku dengan lambaian. Kak David selalu tahu dan datang di waktu yang tepat. Menye;amatkanku lagi dari situasi yang tidak kusuka. Setelah di bawah Shaniar mengacungkan jempol bangga padaku. Kulemparkan senyum tanda mengerti sebagai balasan.
***
Langit kini sudah cerah seutuhnya, angin segar terasa bersih dan sejuk, aspal hitam teduh, pohon-pohon berwarna hijau tenang dan dia yang sudah berada di bawah sana dengan motornya adalah perpaduan yang tidak akan kulupakan seperti perpaduan-perpaduan moment istimewa lainnya yang pernah ada di memoriku. Aku berada diatas tanjakan menunggunya seperti permintaannya sendiri. Helmnya dan helmku diletakkan di kedua sisi jalan menjadi garis finish tidak terlihat. Tanjakan cinta tidak terlalu panjang, apalagi jika mengendarai motor. Bukan tantangan yang butuh adrenalin. Kak David hanya ingin aku melihat niat yang sebenarnya sudah dia siapkan sedari kemarin-kemarin. Menandakan ada aku di dalam rencananya. Bertambahlah yakinku ada aku di dalam hatinya juga.