Tapi, esoknya dan hari-hari berikutnya sangatlah berbeda dari dugaanku. Rencanaku gagal total. Kak David berubah. Tidak hanya Shaniar, dia dan teman-temannya yang lain juga menjaga jarak denganku. Mereka sudah kembali lagi menjadi anak popular yang tak bisa dijangkau seperti sebelumnya. Sangat jauh di atas sana. Jarang terlihat di tempat-tempat biasa. Berpapasan saja pun tidak pernah lagi.
Interaksi kami pun semakin jarang. Latihan drama yang kuharapkan bisa jadi jembatan penyambung juga tidak banyak membantu. Kak David semakin sering tidak ikut latihan. Jika sedang ikut latihan pun dia selalu menghindar. Hanya kak Adam yang masih mau kuajak mengobrol meski tidak sedekat kemarin-kemarin. Itu juga pasti karna peran kami yang harus berinteraksi di drama saja. Di luar pembahasan drama, kak Adam tidak banyak merespon ucapanku.
Terutamanya kak David. Dia yang sangat ketara menjauhiku. Kak Bownie masih memanggil namaku manja ketika tidak sengaja bertemu. Memang hanya sebatas memanggil nama saja. Tidak ada godaan ini itu lagi seperti kemarin.
Tidak berani aku meminta validasi kejanggalan tiba-tiba itu. Aku takut mereka menganggapku aneh dan berlebihan. Maksudku, apa posisiku hingga berhak menanyakan validasi. Mereka pasti mengira aku ke-GR-an jika bertanya.
Semakin hari dia juga jarang tertangkap radarku di sekolah. Biasanya sesekali dia dan ke-empat temannya pasti menjadi pusat perhatian bila sedang berjalan-jalan di sekitaran sekolah pada waktu istirahat. Belakangan, kak David jarang sekali bersama mereka.
Terakhir kali aku melihat mereka berlima sedang makan bersama di kantin Timur. Baru sampai di depan pintu suara tawa mereka terdengar memenuhi ruangan karena ulah kak Dani menggoda adik kelas. Si Lesung Pipi yang menurutku terlihat semakin kurus itu, sempat melihat dan tersenyum padaku, lalu langsung mengalihkan perhatiannya pada kak Dani yang sedang duduk ditengah-tengah sekelompok siswi yang sedang makan. Belum sempat aku membalas dia sudah tidak memperhatikanku lagi.
Ingin rasanya aku berlari menghampiri dan bertanya. Mengatakan padanya bahwa dia tidak harus menghindar karna semua ini salahku. Namun, kembali aku bertanya pada diriku sendiri, atas dasar alasan apa hingga aku berhak mendapatkan validasi. Andai saja aku adalah Agitha yang bisa dekat dengannya kapan saja, bisa bertanya apa saja. Tak perlu pusing berhari-hari, gelisah berhari-hari. Aku benci kenyataan itu. Namun, dalam situasi putus asa, aku ingin sekali menjadi Agitha.