Di tengah-tengah terik matahari siang kota Sidikalang, gladi resik Pensi pertama diadakan. Tepat dua hari sebelum Hari-H. Sudah hampir dua bulan latihan dan aku ingin ini semua cepat berakhir. Waktu terasa begitu lambat berjalan. Hari-hari pun perlahan-lahan sudah mulai biasa lagi bagiku. Sudah mulai terbiasa aku dengan hari tanpa kak David. Terbiasa namun hampa.
Sebagian kelompok pengisi acara sudah berada di aula. Aula tempat kami dulu pernah berkumpul untuk bersepeda bersama. Tempat di mana kak David pernah merasa terusik karna aku dan kak Bownie berbincang akrab. Aula dimana jadi titik start renggangnya kisah singkat dan abu-abu.
Untuk mengusir kebosanan sebelum acara dimulai, aku memilih duduk di taman aula dan membaca kembali buku kumpulan quote motivasi dari para tokoh dunia yang diberikan Rio pada hari ulang tahunku tahun lalu. Rio memberikannya agar aku bisa lebih termotivasi lagi mengubah gaya hidupku yang menurutnya sangat datar. Tak jarang dia sering memutar video-video motivator dengan suara kencang di rumah agar aku ikut termotivasi. Bukannya motivasi yang kudapat dan dia dapatkan, sering kali malah kepalanya yang kujitak atau telinganya kujewer.
“Drewi” suara Shaniar mengalihkan perhatianku dari buku. Shaniar ceria berlari-lari kecil mendekat.
“Drew, si Lesung Pipimu jadi pusat perhatian.” dengan nafasnya tersenggal dia menunjuk ke arah seorang laki-laki berpakaian tentara belanda sedang berjalan menuju aula. Murid-murid perempuan mengikuti di belakang. Persis seperti adegan-adegan drama korea. Namun adegan kali ini membuat dadaku sesak. Kak David memang bercahaya, kharismanya seperti gelombang lautan dan kami sudah kembali asing satu sama lain.
Aku sedikit berharap dia menoleh ketika berjalan melewatiku dan memberikan senyumannya yang beberapa waktu ini bentuknya sudah hampir pudar di ingatan. Tapi dia hanya berjalan saja tanpa mengabulkan harapanku. Langkah tegapnya bagai pisau tajam menusuk ulu hati. Kak David berlalu begitu saja.
Di teras aula dia menghampiri Agitha dan dua temannya yang tergabung dalam trio menyanyi. Mereka sedang sibuk merapikan kostum. Kak David dan Agitha berbincang sebentar lalu masuk ke dalam aula. Seksama kuperhatikan mereka dari awal hingga akhir. Itu cukup membuatku Kembali menyadari sesuatu. Sesuatu yang keras menghantam dadaku lagi seperti kemarin saat aku menangis dalam diam di kamar.
Ya, kini aku menyadari dengan jelas, dia memang sangat populer dan aku hanyalah salah satu dari sekian orang pengagum. Dari awal saat mulai mengakui bahwa aku jatuh cinta padanya, seharusnya aku sudah harus menyadari itu. Mungkin karena luapan jatuh cinta buatku abai di mana letak posisiku. Berulang kali juga aku menghibur diri bahwa aku juga sebanding dengan Agitha Aristia yang mungkin adalah cinta pertamanya. Namun, setelah melihat lagi betapa akrabnya mereka, aku mencerna baik-baik semua hal yang telah terjadi di hari-hari sebelumnya dan itu membawaku menemukan posisi titik koordinatku yang sebenarnya.
Aku mungkin, oh bukan mungkin. Aku pasti hanyalah salah satu dari sekian orang yang dia perlakukan istimewa karena dia memang sebaik itu. Atau pasti karna ada peristiwa yang tidak mengenakkan pernah terjadi antara kami, yang aku tidak tahu apa itu, hingga dia memperlakukanku istimewa sebagai cara untuk menebus rasa bersalahnya. Pasti hanya aku yang terlalu berlebihan mengartikan semua hal yang terjadi. Lesung pipinya itu tidak hanya dia tunjukkan padaku saja. Pasti pada semua orang juga karena, ya, semua orang bisa melihatnya. Bukan hanya aku.
Bisa juga dia hanyalah orang jahat yang sengaja mengistimewakan perempuan-perempuan pengagumnya dan ketika sudah terlena, sedetik kemudian dia pergi. Pergi begitu saja. Acuh begitu saja. Lupa begitu saja.
Melewati tanpa menoleh sedikit pun dengan langkah tegapnya membuatku tersenyum mengerti. Titik koordinat sudah jelas sekali. Tidak tertutup kabut lagi seperti pemandangan kota Sumbul dari atas bukit Letter S waktu itu.
Ya, ini pasti adalah titik koordinat yang benar. Akhirnya aku menemukannya setelah selama ini aku terombang-ambing ke sana ke mari.
“Sabar my friend, mungkin dia memang bukan jodohmu. Mungkin.” Shaniar menepuk pundakku. Harusnya aku tertawa akan pilihan kata Shaniar.