“Memang harus seperti apa lagi biar kelihatan bagus?” ucapku pada pensil kuning yang kutemukan di kursi aula.
“Kalau memang kemampuanku cuma segitu kenapa harus dipaksa? Ck!”
Di saat semua orang sudah pulang, aku tertahan lebih lama karena harus mendengarkan nasihat-nasihat dari ibu Silaban. Kesalahan fatal di atas panggung jadi garis merah evaluasi. Aku pun latihan ekstra dan spesial dengan ibu Silaban. Hanya berdua dengannya. Sungguh romantis sekali. Tatapannya di setiap gerakan dan dialog menjadi bumbu-bumbu romantis lainnya. Cut!...Cut!...Cut!...tidak terhitung jumlah kata-kata romantis Cut! dia ucapkan.
Panggian sayangnya sudah berubah dari nak menjadi boru hasianku tak lupa dengan nada emosi tertahan. Pembicaraan kami sangat “intens” dan “romantis” selama latihan privat. Hingga akhirnya dia lelah sendiri, begitu juga denganku.
Sensasi memalukan di atas panggung tadi masih melekat buyarkan konsentrasi. Aku tidak bisa kembali merasa biasa lagi, berlatih seperti biasa lagi seperti saat di ruang Teater. Kakiku sudah sangat lemah walau hanya untuk berdiri. Otot-oto perutku sudah merenggang seperti senar gitar lapuk, membuat nafasku pun terdengar tidak beraturan. Tubuhku sebagian besar sudah melemah. Lalu aku dituntut harus latihan lagi. Sudah barang tentu ibu Silaban tidak akan menemukan kesempurnaan seperti yang dia lontarkan berkali-kali. Mendekati minimal saja tidak akan bisa. Namun, dengan kejamnya dia tidak mau mengerti, dengan kejamnya juga aku malah menyalahkan ibu Silaban. Padahal memang aku yang gagal kuasai diri.
“Tahun depan aku mau ikutan paduan suara ajalah. Atau nggak usah ikutan kegiatan apapun sekalian. Iih!”
Trekk! Pensil kuning itu patah karena rasa kesalku. Aku melemparnya ke dalam tong sampah di dekat gerbang sekolah dengan keras, hingga menimbulkan bunyi kencang pula. Untung saja sekolah sudah sepi. Kalau tidak pasti mata-mata itu akan tertuju lagi padaku.
“Andrewi....” Suara itu membuatku terkejut dan membalikkan badan. Si lesung Pipi!. Kak David.
Tidak kujawab panggilannya. Kecewa masih menyelimutiku.
“Kasihan pensilnya, Drew. Kamu pasti sudah terlalu kesal sampai pensilnya terbelah seperti itu.”
Aku menyengir “ Ia kak, banget,” tidak kusangka suaraku malah terdengar biasa tanpa beban. Suaraku menghianati kesedihanku.
“Kenapa sendirian? Shaniar di mana?” Ucapnya sambil berjalan melewatiku. Memancing untuk mengikutinya berjalan ke luar gerbang. Dia tampak normal sekali. Seperti tidak ada sesuatu yang pernah terjadi di antara kami. Kuikuti berjalan di sampingnya. Sudah sangat lama rasanya kami tidak berjalan berdua lagi. Perjalanan kali bukan ditemani minuman atau makanan, tapi ditemani oleh rasa sesak di dadaku.