Entah apa yang terjadi.
Entahlah bagaimana aku memaknai semua ini.
Kak David tidak berhenti saat kami sudah dekat rumahku. Rio memandang aneh padaku dari warung kopi di dekat rumah tempat dia dan teman-temannya biasa nongkrong. Saat itu kak David malah memacu gas, memutar arah membawaku ke sini.
Di sini.
Ke tempat kami duduk berdua.
Kikuk, canggung, tidak tahu harus berbuat apa.
Di warung bakso yang penuh legenda.
Warung bakso…Abang Man.
Saat Plang nama “Bakso Abang Man” yang tertempel di atas gapura menyambutku, aku sudah tenggelam seutuhnya dalam lautan kalut.
Walau pun aku sudah berusaha sekuat mungkin untuk tenang, tapi di bawah meja, kakiku gemetar. Sungguh tidak kusangka dia akan memberhentikan motornya tepat di parkiran warung bakso.
Aku masih berusaha menyangkal kata hati yang bersorak-sorai saat dia menarik tanganku untuk masuk bersama. Barulah saat kak David memesan menu bakso khusus couple, aku pun akhirnya membiarkan hormon bahagia keluar. Masih saling berpegangan tangan, dia menarikku lagi ke meja di sudut kanan yang berdampingan dengan sebuah aquarium ukuran sedang. Membatasi gangguan dari perhatian orang-orang luar. Dia bahkan menarik kursi agar aku bisa duduk. Barulah akhirnya tanganku dilepas dan dia duduk di seberang.
Ruangan warung bakso yang hampir mirip dengan ruangan kafe benar-benar romantis. Warna-warna lembut dan pencahayaan yang pas, tidak monoton, serta pernak-pernik yang sederhana tapi diatur sedemikian rupa. Pantas saja warung balso Abang Man jadi tempat wajib bagi insan yang sedang jatuh cinta. Hatiku menghangat begitu masuk.
Di sisi lain, logika dan hatiku kembali berdebat. Aku penasaran untuk apa dia membawaku kesini. Kami tidak pacarana dan tentu saja aku bukan pacar pertamanya jika memang pacaran. Seperti kata Shaniar, Agita Aristia adalah pacar pertamanya atau mungkin cinta pertamanya.
Atau....
Apa dia sudah tahu tentang rencana abal-abalku untuk membakar warung bakso ini dan memutuskan untuk membantuku? Jangan-jangan dia sudah membawa bensin dan korek api dalam tas carrier nya itu. Bisa jadi.
“Selamat makan, Drewi.”
“Selamat makan juga, kak. Makasih baksonya.” Kuambil botol saus bertuliskan saus cabai ekstra pedas dari tengah meja. Baru saja kutekan, tutup botol lepas dan jatuh ke dalam mangkok. Otomatis saos yang ada di dalam botol pun ikut tumpah dan menggunung.
“Waduh….” Panik, cepat-cepat kuletakkan botol saos dan kubersihkan sisa-sia yang meluber keluar mangkok. Kak David ikut panik memindahkan sebagian ke dalam mangkoknya. Sebagian lagi di tampung di tapak kecil alas mangkok sampai baksoku kembali terlihat normal meski warna kuahnya jadi pekat.
“Makasih, kak. Maaf jadi bikin repot kakak terus.”
“Iya, tidak apa-apa. Biar kita sama-sama kepedasan,” dia mengedipkan kedua matanya lalu memakan bakso.
Aku tersedak. Kunyahanku terhwnti. Ini terlalu dahsyat. Aku tidak bisa menahan lagi. Percampuran pedas dan kedipan itu benar-benar membuat lidah dan hatiku sama-sama terbakar. Ini tidak bisa diselamatkan lagi. Aku tidak bisa. Segera kuambil botol teh dingin di depanku lalu minum tanpa jeda. Nafasku pedas dan panas begitu keluar dari mulut dan hidung.
Kak David tertawa. Lesung pipi dan matanya juga ikut tertawa. Aku juga ikut tertawa.
“Kita pesan yang baru, ya.”