Aku...sungguh-sungguh tidak menyangka akan mendengar tepuk tangan meriah. Aku tidak menyangka ayah yang duduk di deretan tengah bersama bunda dan adikku mengacungkan kedua jempolnya. Bunda bertepuk tangan gembira sambill membisikkan sesuatu ke orang lain di samping dan belakangnya. Rio menerbangkan kecupan perfecto padaku. Mereka menorehkan senyum termanisnya untukku.
Ibu Silaban, paling tidka kusangka, tersenyum haru sambil berdiri bertepuk tangan meriah untuk kami yang sedang berdiri di atas pentas. Sambil saling bergenggaman tangan, kami menikmati gemuruh ria.
Kulepas genggaman tanganku dan melambai kepada ayah, bunda dan Rio. Pemain yang lain pun ikut melambai pada keluarga mereka masing-masing. Termasuk kak David yang melambai pada seorang wanita paruh baya yang duduk di kursi di barisan ke dua. Wanita berpakaian kemeja putih itu membalas dengan kecupan angin dan tersenyum menampakkan lesung pipi yang hampir sama dengan kak David. Kulihat lagi kak David dan dia sedang melihatku juga. Kubalas tulus senyumnya.
Acara pun diambil alih oleh Mika dan Miko si kembar pembawa acara. Sementara kami menarik diri ke belakang panggung.
“Yeaahh kita berhasil,” teriak Juna.
“Yesssss,” si kurus Angelina menimpali, begitu juga dengan yang lainnya. Suasana menjadi riuh. Kak David pun tidak mau ketinggalan. Dia membuka topi tentaranya dan melempar ke udara di ikuti teman-temannya yang lain.
Di mataku, saat itu, kak David sangat bersinar. Cahaya dari pintu yang kubelakangi, semua menyinarinya. Entah kenapa tiba-tiba muncul niat ingin ungkapkan perasaanku. Memberi garis penegas tentang hubungan kami. Ada dorongan nakal dari nurani. Perasaan pun membuncah. Genderang di kepala ditabuh berkali-kali, memacu adrenalin untuk melangkahkan kaki menuju tempat dia berdiri. Mungkin saja itu efek dari racun panah asmara sang malaikat cinta yang ditancapkan padaku, bercampur lega karena drama telah usai. Sementara dia masih asik bersalaman dengan para pemain lain, dan jarak kami hanya tinggal beberapa langkah lagi, tekadku pun semakin bulat.
“David, ortumu ada di depan aula. Kamu di suruh kesana,” panggilan kak Ameila membuyarkan segalanya.
“Ok,” jawabnya.
Aku langsung berbelok arah saat mata kami bertemu. Hembusan angin terasa di belakangku. Kulihat dia sudah hilang di balik pintu. Hufth…hampir saja.
***
Evaluasi drama pun dimulai. Ibu Silaban mengumpulkan kami di backstage. Suasana hatinya sedang bahagia sekali. Tak henti-henti dia memuji kami.
“Terutama untuk Drewi. Kalau dari awal kamu all out seperti itu, ibu enggak akan ngomel-ngomel. Kamu tadi keren banget. Adam juga bagus. Semua all out pokoknya. Tepuk tangan untuk kalian semua.”
Tepuk tangan dan suara siul riuh rendah memenuhi ruangan. Kak Adam menepuk-nepuk punggungku. Aku mencubit tangannya karna tepukannya itu lebih kepada memukul dari pada menyemangati. Penderitaan sebagai bahan olok-olokan sudah berakhir. Pembuktian sudah berhasil. Kisah yang kembali terjalin antara aku dan kak David jadi faktor utama semangat dan percaya diriku kembali lagi. Aku harus mengajaknya jalan dan membelikan makanan enak untuk terimakasihku.
Dari barisan di seberangku dia melayangkan jempol dan lesung pipinya. Hampir saja aku nekat melayangkan sinyal “aku tunggu di gerbang” yang dulu pernah dia lakukan. Segera kutepis dan menggantinya dengan senyum termanis. Sebaiknya, aku memang harus ungkap saja perasaanku dan rasa terimakasih telah jadi penyemangat. Sudah tidak ada alasan lagi bertemu setelah perayaan ini selesai. Tidak ada latihan drama lagi. Sudah tidak bisa ditunda lagi.
Ditengah-tengah riuh rendahnya suara kami, kak David pergi keluar. Lagi. Sudah 2 atau 3 kali bolak-balik keluar aula. Setelahnya, sampai evaluasi selesai, dia tidak kembali lagi.
***
Aku masih tertahan di backstage karena harus membereskan kostum drama. Shaniar sudah melarikan diri terlebih dahulu agar tidak ikut bersih-bersih aula.