Angin berhembus memainkan rambutku. Di lapangan sekolah aku dan Shaniar asyik berbincang sambil menonton siswa-siwi lalu-lalang. Angin juga bertiup sepoi-sepoi menambah bahagia suasana acara pembubaran panitia Pensi. Tidak ada jeda, setelah Pensi selesai, besoknya acara pembubaran panitia dilaksanakan agar tidak mengganggu kegiatan persiapan panitia Natal.
Target sumbangan dan saweran orang tua pun mencapai puluhan juta. Menutupi semua kekurangan biaya anggaran. Kelebihan sumbangan dialokasikan untuk acara pembubaran panitia. Banyak cemilan, bingkisan dan makanan berat di sediakan di depan kantor guru untuk dinikmati bersama.
“Lagi sibuk?”
“Astaganaga ularnaga panjangnyaa.”
“Kak Adam!!!” Teriak Shaniar sama kagetnya denganku. Kak Adam menggertak bahu kami dari belakang. Dia tertawa memegangi perutnya.
“Kalian lagi ngapain?”
“Lagi makanlah, kak.”
“Lagi nontonin orang lalu-lalang. Kakak sendiri ngapain ke sini?” tanyaku begitu kak Adam duduk di Tengah-tengah kami.
“Cari angin. Kepalaku pusing dua hari kurang tidur.”
“Pasti karena memikirkan acara ini , ya, ka?”
“Betul sekali, Shan Shan.”
Shaniar tersipu malu dipanggil dengan nama itu. Pasti sudah banyak yang dia ceritakan tentangku dan tentang dirinya sendiri pada kak Adam. “Kakak nggak mau tidur dulu sebentar? Mata kakak udah merah. Udah lima watt”
“Shan, aku ketua panitianya di sini. Kalau mereka tahu aku tidur-tiduran atau rebahan bisa di demo massal aku.”
Aku dan Shaniar tertawa geli.
“Lagian kenapa kakak nggak tola aja. Mereka juga pasti pahamlah.”
“Iya, paham. Trus jabatannya dicopot, gitu?”
Tawa kami semakin tergelak. Kami kasihan tapi caranya menjawab pertanyaan itu sangat lucu. Kak Adam pasrah sekali disibukkan ini itu oleh guru-guru.
“Si Lesung Pipi kemana kak?” Mataku melotot pada Shaniar dari samping kak Adam.
“Hmm...kurang tahu. Kalian sering pulang bersama, kan?” Kak Adam menoleh padaku. “Coba kamu tanya sendiri saja. Aku masih ada kerjaan, aku tinggal dulu. Bye.”
Shaniar dan aku sama-sama bengong ditinggal begitu saja. Sempat kami kira kak Adam sedang bercanda atau mengerjai kami. Akan tetapi, sampai dia masuk ke kantor kepala sekolah pun, dia tidak berhenti atau hanya sekedar menoleh. Dia pergi begitu saja.
“Kak Adam kenapa?”
“Nggak tahu. Tadi aku nggak ada salah kata-kata, kan?”
Kepalaku menggeleng. “Mereka lagi ada masalah?”
“Ya, mana tahu. Coba tanya si Lesung Pipimu itu.”
“Issh....”
“Kak Adam udah tahu siapa si Lesung Pipimu. Si Lesung Pipimu itu juga udah tahu.”
“Tahu dari siapa lagi kalau bukan dari teman paling ember se dunia,” kucubit lengan Shaniar pelan. Dia mengaduh kesakitan seakan-akan cubitanku sekeras cubitan bu Silaban.
“Eh, masih ingat dua hari lalu aku minta tolong apa?”