Hanya hari-hari spesial yang ingin kita ingat. Hari menyakitkan jauh kita kubur meski ingatannya sama kuat dengan hari spesial. Kadang, hari menyakitkan kita lepas dengan berbagai cara. Namun, kadang malah terlepas begitu saja karena kesibukan diri. Kita manusia hamba hari. Kita hidup bergantung pada hari. Kita lewati semua hari dengan korbankan diri. Persembahkan diri agar hari yang bagaimana pun tetap bisa antarkan kita ke hari berikutnya. Agar jangan sampai hari menyakitkan buat diri berhenti. Persembahkan diri demi diri.
“Ini sudah 6 tahun 28 hari sejak hari itu, kak Dave,” ucapku pada jam tangan pemberiannya dulu. Jam tangan itu sudah rusak, jarumnya sudah tidak bergerak lagi. Tidak ada niat membuang, terlalu berharga. Tidak pula ingin memperbaiki. Biar saja. Biar saja dia jadi penghuni kotak kado di dalam laci meja kerjaku. Itu pantas dan belum cukup untuk seseorang yang membuatmu jatuh cinta lalu pergi meninggalkanmu tanpa ada kabar lagi.
Kusimpan jam tangan dan memindahkan kalender meja yang baru saja kuberi tanda silang ke atas tumpukan majalah dekat meja. Setiap hari selama 6 tahun tak lupa kuberi tanda sialng di tiap tanggal kalender. Menghitung hari-hari yang telah aku lewatkan menunggu kak David. Tak pernah lupa walau sesibuk apapun. Kebiasaan aneh yang buat Shaniar berkali-kali menasehati untuk pergi ke psikolog. Nasehat yang berkali-kali juga kutolak.
Kebiasaan itu juga sadarkan diri betapa menyedihkannya hidup hanya karena cinta monyet masa SMA. Walau begitu, pura-pura kuat yang dulu kubiasakan ternyata berhasil buatku sanggup tetap berdiri. Meski hati malah beku jadinya.
Sigap kuambil tumpukan kertas yang harus di fotokopi dari atas meja. Air mataku sudah diujung. Harus kuhalau agar tak jatuh. Pagi hari seperti biasa, aku kembali memulai aktivitas rutin berhadapan dengan mesin fotokopi. Suara desingannya, getaran dan hangat mesin akrab dengan telinga. Jadi musik wajib memulai hari.
Sudah hampir setahun aku bekerja sebagai staf desainer di kantor salah satu majalah fashion wanita terkenal di Bandung. Satu tahun pula job deskku masih sebatas bertemu mesin fotokopi, mesin pembuat kopi, mengantarkan berkas, melaporkan hal-hal yang perlu dilaporkan, mencari referensi dan pekerjaan lainnya yang sebagian besar tidak sesuai dengan keahlianku sebagai sarjana desain grafis. Hanya jika seniorku kewalahan mengejar deadline, barulah aku ditunjuk jadi pahlawan kesiangan. Tentu saja akhirnya aku yang kena marah karena hasilnya kurang maksimal.
“Drewi, tolong sekalian fotokopi yang ini ya, terimakasih.”
“Siap, mbak Gista,” jawabku meskipun dia sudah pergi duluan.
Berat nafasku keluar melihat kertas yang semakin menumpuk. Passion menggambar yang kutemukan saat duduk di kelas 3 SMA dulu, semakin pudar. PAdahal, betapa senangnya aku dulu dikenalkan ke dunia gambar oleh salah satu mantan pacarku. Kebahagiaan itu bertambah begitu diterima di salah satu universitas negeri terbaik di Bandung, di jurusan desain grafis. Jurusan impianku.
Namun, suasana di tempatku bekerja tidak seperti suasana yang aku impikan. Passionku mati. Jangankan tumbuh, bertahan saja tidak. Aku malah jadi ahli fotokopi dan pembuat kopi.
Selama masa kuliah, tidak lupa aku juga berusaha mencari jejak kak David. Di Sidikalang, ibu kak David membuka usaha sampingan, toko bunga. Jadi, aku cari jejak mereka di setiap toko bunga di Bandung. Nihil. Kesana-kemari aku mencari Alamat mereka. Nihil juga.
Begitu masuk dunia kerja, sudah tak sering lagi aku mencari. Atasanku sanagt perfeksionis, bermulut tajam dan sensitif sekali terhadap waktu. Pak Ghanan namanya. Pak Ghanan juga yang telah alihkan perhatian dan hidupku untuk selalu siaga setiap detik di kantor. Kalau tidak siap siaga bantu ini itu, cipratan kombinasi kata-kata entah dari mana, akan jadi hujan dadakan. Untung saja angkatanku ada 3 orang. Jadi, masih ada dua orang lagi yang bernasib sama denganku.
“Semangat Drew, semua ini hanyalah proses. Tenang aja, nanti kita pasti bisa mendapatkan kesempatan untuk maju,” ucapan Winny temanku, saat kami baru satu bulan bekerja. Ucapan semanagat yang bahkan sudah mulai terasa tidak bermakna.
“Drew, kapan kita bisa jadi bos kalau gini terus?” ucap Lala lebih pesimis lagi waktu itu. Kami bertigalah teman seangkatan yang juga senasib seperjuangan. Bedanya, Lala lebih tidak bernasib baik karena dia merangkap jadi PA pak Ghanan.
“Drewi.”
“Ya,” jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari mesin fotokopi. Itu pasti Sammy, pria kemayu salah satu sahabat terbaikku selain Winny.
“Lo udah punya pacar? Kok nggak bilang-bilang?”
Aku menatapnya yang sudah berdiri menyender di samping mesin fotokopi tanpa ekspresi. Walau sudah bertahun-tahun di Bandung, Sammy yang asli Jakarta, lo gue masih belum hilang saat dia berbicara.
“Fitnah dari mana itu?”
“Ck! Beib pliss, cerita siapa cowo itu. Ganteng nggak? Kerja dimana? Usianya? Brondong? Atau jangan-jangan om-om lagi. Jangan bilang Sugar dady? Bagi-bagi dong.”
“Ck! Sammy, apa wajahku ini terlihat seperti seorang wanita yang sudah mempunyai pacar?”