“Kamu masih ingat, waktu hari pertama MOS, kamu dan temanmu Shaniar terlambat trus disuruh joget di atas panggung?”
“Ingat,” ucapku seksama memperhatikan Agitha lewat cermin besar di depan kami.
Belum terjawab asal-usul gaun pernikahan, Agitha menyambutku dan kak Dani begitu sampai di depan salon. Tanpa basa-basi dipeluknya aku erat dan lama, lalu menarikku masuk ke dalam salon tanpa coba biarkanku bertanya apapun.
“Kita meregangkan otot dulu, baru nanti aku akan cerita semuanya” ucapnya sebelum menarik tanganku. Dia lebih ramah, dewasa dan lebih stabil. Berbeda sekali dengan dirinya yang dulu.
“Kak David bilang, itu moment pertama kalinya dia jatuh cinta sama kamu, Drew. Dia juga bilang pertama kalinya dia tertawa lepas karena menonton joget-joget bebasmu.”
“Kak Dave tidak pernah cerita soal itu.”
“Dia itu cemen, Drew” sambung kak Dani yang sedari tadi duduk bosan di kursi tunggu.
“Cemen?”
“Dia sudah beberapa kali berusaha mendekatimu, tapi selalu mundur saat jarak antara kalian tinggal beberapa meter. Dia itu cemen. Makanya kami panggil dia Chicken. Andrewi’s chicken. Your chicken, Drew.”
“Ahahah…” Agita tertawa ringan. “Mungkin…karena baru pertama kali jatuh cinta.”
“Bukannya pacar pertamanya kamu?”
“Pacar pertama bukan berarti cinta pertama. Pacar pertama bukan berarti orang yang membuatmu jatuh cinta untuk yang pertama kalinya. Apalagi bila salah satu di antara mereka dipaksa untuk berpacaran atau lebih tepatnya....”
“Dijodohkan.”
“Kamu tahu dari mana?” dia menoleh cepat padaku. Capster di belakangnya menghembuskan nafas kesal.
“Gosip di sekolah,” jawabku polos dan jujur. Agita mendengus geli dan menghadap ke depan lagi. Si capster pun kembali bernafas lega dan melanjutkan pekerjaannya.
“Bukan hanya memaksanya berpacaran, aku juga membawanya....”
“Ke warung bakso Abang Man. Padahal waktu itu dia tidak tahu tentang legenda warung bakso itu.”
Agita menatapku tidak percaya lagi. Dan semakin bertambahlah rasa kasihanku pada si capster.
“Kak David yang cerita.”
“Dan dia sudah membawamu ke situ kan?”
“Kamu sudah tahu?”
“Sekali pun kami sudah putus, tapi aku adalah satu-satunya tempat kak David mencurahkan perasaannya. Kami adalah tetangga yang sangat baik. Walau dia selalu risih di dekatku tapi kami adalah bestfriend. Aku tahu semua tentangnya.”
“Keluarga kalian juga sangat dekat. Aku tahu itu,” balasku sedikit jengkel. Dani melihat sekilas padaku. Mungkin dia merasakan emosiku yang mulai terpancing.
“Ya. Tapi sedekat apa pun kami yang memenangkan hatinya tetap kamu, Drew. Itu membuatku sangat sangat marah. Entah karena dewi fortuna berpihak padaku atau mungkin karena memang emosiku yang tidak bisa aku kontrol lagi, bukannya sedih, aku malah senang alergiku kambuh karena memakan nasi gorengmu itu dulu. Aku jadi punya alasan untuk menjatuhkanmu di depan David dan di depan semua orang. Hasilnya? Dia masih saja mengarahkan pandangannya padamu.”
Aku menahan diri untuk tidak mengeluarkan emosiku atas pengakuannya itu. Entahlah emosi apa yang tepat untukku perlihatkan lagi. Bagiku saat ini bertemu dengan kak David adalah prioritas. Aku akan sabar menunggu saat-saat bertemu dengannya, akan aku tahan semua emosi, rasa penasaran, gelisah atau apapun itu. Mungkin ini sesi curhat sebelum apa yang ada dalam pikiranku dan kaitannya dengan gaun pernikahan terwujud.
“Kamu tahu, bahkan semarah dan sebenci apa pun aku pada kenyataan. Bahwa dia lebih memilihmu dari pada aku, aku tetap tidak bisa membenci dia. Aku tidak tega melihatnya memohon padaku, saat dia memintaku membantunya ungkapkan perasaan padamu.”