Dari terasnya saja sudah bisa ditebak rumah kak David bergaya eropa klasik. Apalagi begitu masuk ke dalam rumah. Arsitektur, furniture, sampai tanaman dan lantainya sangat bergaya Eropa klasik. Aku dan yang lainnya mengikuti langkah wanita berambut pirang di depanku. Kakiku pelan-pelan menekan lantai agar tidak tergores heelsku.
Sudah tidak sabar lagi rasanya mengakhiri penantian. Sudah tidak sabar lagi rasanya menyudahi penyesalan yang terpendam selama bertahun-tahun. Tidak menyangka tanpa harus bersusah payah lagi, aku bisa bertemu dengannya. Aku yakin tanpa mengutarakan pun perasaan ini akan terbalas dan berakhir bahagia. Aku sangat yakin itu.
Penasaran aku bagaimana bentuk wajah kak David dewasa. Apakah lesung pipinya masih sama seperti dulu?. Pasti. Pasti masih sama.
Tanpa sedikit pun mengeluarkan suara, kami sampai di depan sebuah kamar. Pintunya dibuka oleh wanita yang belum aku tahu namanya itu. Suasana yang agak ganjil untuk sebuah kejutan.
“Mmm…sebentar,” ucapnya berhenti membuka pintu. “Kita belum berkenalan. Aku Diva, Diva Adelis.”
“Mefia Andrewi,” kujabat tangannya.
“Aku kakaknya David. Sepertinya kamu tidak mengenaliku.”
“Iya. Maaf, kak.” Terjawablah sudah rasa penasaranku. Walau tidak mirip tapi dia memiliki aura yang hampir sama dengan kak David. Aku memang tahu dia punya seorang kakak, tapi aku tidak tahu wajahnya seperti apa. Betapa durhakanya aku ini, masa saudara dari pria cinta pertamaku saja aku tidak tahu.
“Astaga masa tidak kenal, Drew.”
“Kenal, kok, Dani. David pernah cerita, katanya dia pernah curhat tentang aku waktu kalian di TWI. Hanya saja belum pernah ketemu, makanya cuma tahu namaku saja.”
Aku mengangguk tersenyum bahagia. Kak David curhat tenangku pada kakaknya.
“Ok, Drewi. Aku hanya bisa antar kamu sampai di sini. Sekarang kamu masuk saja ke dalam,” kak Diva membuka pintu dan mempersilahkan masuk. Sendirian.
“Kami menunggu di sini, Drew. Kalau kamu butuh, langsung panggil kami saja.” Agitha mengucapkan kata-kata penguatan.
Aku pun berjalan agak lambat. Menerka-nerka apa yang akan terjadi. Kusimpan pertanyaan-pertanyaanku. Ada yang lebih penting. Penentu penantian.
Belum sempat melewati pintu, aku melihat seorang wanita paruh baya duduk memunggungi kami. Layar infocus terbentang di dinding.
“Ayo,” kak Diva kembali mempersilahkan.
Pintu ditutup ketika aku sudah di dalam. Ruangan pun jadi gelap sebagian. Sebagian lagi diterangi cahaya dari lampu tidur, ventilasi dan layar infocus. Aku kembali mengatur nafas. Rangkaian-rangkaian kejutan yang diberikan kak David membuatku hampir tidak bisa bernafas normal. Aku membayangkan sebuah cincin akan melingkar di jari manisku.