Video dibuka dengan seorang laki-laki berwajah pucat memakai baju pasien rumah sakit. Tak butuh waktu lama kukenali dia sebagai si Lesung Pipiku. Dia sedang berusaha meletakkan kamera pada posisi yang bagus di atas meja di samping tempat tidurnya. Dia duduk di atas tempat tidur lengkap dengan beberapa selang melekat di tangan, hidung dan tubuh.
Foto yang ada di tanganku pun terjatuh. Aku hendak meminta penjelasan dari bunda Adelia, namun yang ada malah bunda sedang menutup mulutnya menahan suara tangis. Rasa gelisah menggerogotiku. Kali ini lebih-lebih hebat dari gelisah sebelumnya. Begitu hebat sampai suara nafasku jelas sekali terdengar.
“Ok. Hai Drewi. Mmm...ini video khusus untukmu. Video ini kuambil diam-diam karna sebenarnya aku tidak bisa banyak-banyak bergerak atau beraktivitas.” Dalam video, pria berlesung pipi yang terlihat sangat lemah itu menggaruk bagian belakang kepalanya. Dia terlihat kehabisan kata-kata dan hanya diam setelahnya. Tak lama kemudian, kak David mengambil gitar yang bersender di sisi kiri tempat tidur.
“Semoga suatu hari nanti kamu bisa melihat video ini. Oh iya, gitar ini hanya pajangan saja,” dia mengangkat gitar. “Aku tidak pandai bermain gitar, aku memegangnya supaya terlihat keren saja. Karena kata Shaniar, kamu sangat suka dengan orang yang pandai bermain gitar. Ya setidaknya aku bisa terlihat keren di matamu dengan adanya gitar ini.” Lalu terbata-bata kak David memetik gitar menyanyikan lagu Peterpan “Semua Tentang Kita”.
“Drewi, ijinkan aku menceritakan semua tentangku. Cerita dari sudut pandangku. Sebelumnya aku sudah pernah cerita, aku hidup dengan keadaan yang kacau. Tidak punya impian dan berjalan tanpa tujuan. Bahkan sampai ke Psikolog. Sebenarnya, waktu itu aku tidak berterus terang padamu, Drewi. Aku menutupi Sebagian cerita karena aku sudah terlanjur memiliki…sesuatu yang tidak bisa aku tolak di dalam tubuhku ini.”
“Kamu masih ingat tidak, waktu kamu dan temanmu Shaniar di suruh berjoget karena terlambat datang di hari pertama MOS? Moment yang aku sendiri tidak pernah lupa. Mungkin karena keceriaan yang kamu pancarkan saat itu. Untuk pertama kalinya aku tertawa lepas dan ikut berjoget konyol. Adam pernah bertanya, kenapa harus kamu, di sampingmu ada Shaniar dan kenapa aku hanya melihat kamu di sana. Sampai sekarang kau juga tidak tahu mengapa, Drew. Hanya kamu yang ada di mataku saat itu. Hanya kamu.”
“Pertama kalinya, setelah lama aku tidak merasakan apapun di dunia ini, jantungku berdetak sangat kencang. Biasanya saat jantungku berdetak sangat cepat akan terasa nyeri di setiap denyutnya,” dia memegang dada dan memandang ke luar jendela.
“Begitu melihat matamu yang berbinar ketika turun dari panggung dan berjalan melewatiku, jantungku berdenyut kuat dan cepat. Anehnya tidak sakit dan nyeri. Rasanya justru seperti melayang, hangat dan nyaman. Berdesir seperti pasir di pinggir Pantai yang tersapu air laut. Seperti...menggelitik.”
“Aku tahu dari Agitha, itu adalah tanda jatuh cinta. Jatuh cinta. Jatuh cinta pada seseorang yang aku bahkan tidak tahu namanya saat itu. Aku hanya melihat tulisan Singkong di papan nama yang tergantung di lehermu,” matanya kembali beradu dengan kamera dan beradu dengan mataku. Air mataku sudah membanjiri pipi. Aku tidak sanggup untuk melihatnya yang sangat pucat tak berdaya. Aku ingin sekali terbang ke sana dan memeluknya.
“Aku tahu nama aslimu dari daftar hadir kelompok MOSmu. Tadinya, aku sangat ingin berkenalan denganmu. Tapi jangankan mengajak bicara, beberapa meter darimu saja aku sudah ciut. Entah kenapa saat berdekatan denganmu, gejala-gejala serangan jantung yang aku alami selama ini selalu muncul. Keringat dingin, jantungku berdegup kencang, sampai tangan gemetar. Walau tidak terasa sesakit biasanya, malah sebaliknya, tapi aku tetap khawatir. Agitha bilang itu adrenalin. Entahlah.” dia tertawa geli mengerdikkan bahu.
“Jadi karna itu aku tidak bisa di dekatmu berlama-lama atau hanya untuk sekedar menanyakan namamu. Aku takut dan tanganku gemetar. Dan mungkin saja aku akan pingsan saat sudah ada di dekatmu. Memang aneh.”