Seseorang lelaki memakai baju seragam SMA berjalan menjauh memunggungi di depan sana. Aku berdiri persis di depan gerbang sekolahku dulu. Gaun pernikahan masih kupakai lengkap dengan sepatu dan buket bunga berwarna putih.
Lelaki itu berhenti dan berbalik menatapku dengan senyum indahnya. “Kak David…” panggilku lemah.
Tangannya kemudian terangkat melambaikan perpisahan. Aku hanya bisa terdiam, tubuhku tidak bisa bergerak sama sekali. Sesak dadaku sebab kata-kata tak bisa keluar lagi. Namun, kutenangkan diri karena kuyakin itu moment terakhirku bersamanya. Air matakulah satu-satunya bahasa membalas lambaiannya.
Dia kembali memunggungiku dan berjalan ke dalam awan putih yang sudah menunggunya lalu… menghilang. Kukira aku akan meangis histeris lagi, namun lega menyelimuti perlahan-lahan. Sudah tahu aku jawaban untuk perasaan yang terpendam bertahun-tahun. Itulah yang buatku lega. Tanganku akhirnya bisa terangkat melambaikan tangan ke jalan yang sudah kosong.
“Drew…Drewi. Bangun, Drew.” Bau minyak kayu putih menyengat hidung, pancing batukku dan sadarkan diriku kembali ke kamar kak David. Shaniar adalah yang pertama kalinya kulihat ketika membuka mata.
“Drewi,” panggilnya sedih dan membantuku duduk.
“Shan, kak David, Shan. Kak David udah pergi.”
“Aku tahu, Drew. Kamu harus kuat. Aku akan selalu di dekatmu mendukungmu.” Shaniar memelukku dan mengelus rambutku. Tangisanku tidak bisa berhenti. Shaniar, Agitha dan yang lainnya juga ikut menangis. Ada sampai beberapa menit kami menangis saling berpelukan.
“Drewi…kalau kamu sudah kuat. Kami semua mau berziarah ke tempat David. Kamu mau ikut, nggak?” tanya Agitha yang ikut memelukku dan Shaniar.
Kuanggugkan kepalaku. Walau tidak bertemu langsung dengan kak David, mungkin dengan berdoa dan menaburkan bunga ke atas makamnya akan bantuku lebih tenangkan lagi hati.
***
“David punya kelainan jantung sejak lahir. Setahuku, waktu itu, salah satu katupnya tidak terbentuk sempurna,” ucap Agita di mobil menuju rumah sakit setelah kami selesai ziarah dari makam kak David. Bunda Adelia sudah harus kembali ke rumah sakit untuk perawatan. Semenjak kepergian kak David, bunda Adelia tidak bisa lepas dari penanganan rumah sakit.
“Kami sudah bertahun-tahun menunggu transplantasi jantung untuknya. Mungkin karena masalah orang tuanya juga, keadaannya makin menurun. Fisik maupun psikisnya. Dia sampai harus beberapa kali absen dari sekolah karna harus di rawat atau control rutin ke dokter. Beberapa kali juga karna dia tidak mau pergi kemana-mana. Mengurung diri di kamar."
“Sepertinya masih banyak hal yang tidak kutahu tentang kak David. Sekalipun sudah bertemu orang-orang terdekatnya.”
“Biar kuceritakan pelan-pelan, Drew. Aku menceritakan ini semua karena aku sudah kuat. Aku juga dulu sama sepertimu, belum bisa menerima kenyataan. Sekarang aku sudah kuat dan aku akan membantu agar kamu tidak tersesat karena kebingunganmu tentang David, Drew. Tersesat dalam tanyamu sendiri itu rasanya jauh lebih menyakitkan dibanding rasa sedih karena kehilangan itu sendiri.”
“Thanks, Git.”
“Sama-sama. Kamu masih kuat kalau aku lanjut ceritanya?”
“Masih. Lanjut.”
“Ok. Sampai suatu hari saat ayahnya memutuskan pergi dari rumah. Rumah yang tadi. Keadaan Dave semakin memburuk. Lalu akhirnya dia ikut bunda Adelia pindah ke Sidikalang untuk tenangkan diri.”
“Awalnya keadaan David semakin membaik setelah bertemu denganmu, Drew. Bunda Adelia senang bukan main melihat kak David kembali beraktivitas normal. Tidak mengurung diri lagi di kamar. Hanya tetap saja, masalah keluarganya benar-benar tidak bisa tidak mempengaruhinya. Dia bukan hanya putus asa karena penyakitnya tapi juga putus asa karena keadaan keluarganya.”
“Sampailah di titik, di mana ayahnya akan menikah lagi….”
“Menikah lagi? Bukannya kata kak David mau rujuk?”
“Dia bohong, Drew. Kak David malu kalau harus cerita yang sebenarnya. Kak Devi, yang sama putus asanya dengan kak David, mencoba bunuh diri. Bunda Adelia panik lalu akhirnya mereka ke Bandung sehari setelah info percobaan bunuh diri itu. Tapi karena rasa sayangnya untuk kamu, dia menguatkan dirinya sendiri untuk menyelesaikan drama itu. Di Bandung dia memilih home schooling karena keadaannya yang tidak kunjung membaik. Tidak sampai setahun dia sudah tidak bisa bertahan lagi. Kak David koma beberapa hari hingga akhirnya pergi untuk selamanya, Drew.” Agitha menyeka air matanya dan aku mengikutinya menyeka air mataku juga. Sementara Sahniar menggenggam tanganku yang satunya.
"Dia berbohong padamu dan pada teman-temannya yang lain soal orang tuanya rujuk. Dia malu karna keadaan keluarganya. Soal penyakitnya, dia jujur pada teman-temannya tapi melarang mereka menceritakan padamu. Kamu jangan cemburu, Drew. Aku satu-satunya yang tahu semua ceritanya karena memang hanya aku yang dia bisa bebas bercerita tanpa malu. Bukan karena dia menyukaiku seperti dia menyukaimu."
“Aku paham, Git. Kak David butuh teman untuk tenangkan dirinya. Sama seperti aku membutuhkan Shaniar juga.”
“Betul. Bunda Adelia sangat terpukul. Dia bahkan tidur di kamar kak David dan memilih dirawat di kamar itu. Dokter dan suster rutin datang memeriksa. Bunda juga tidak membiarkan siapa pun memindahkan barang-barang kak David dari kamar. Dia meminta semua harus tetap pada tempatnya.”