Bagian 1 : Gadis Yang Matanya Berbinar
Suara musik kencang berdentam-dentam terdengar jelas dari dalam gedung aula bertuliskan Aula Sakti. Suara riuh rendah, tawa dan teriakan-teriakan mengiringi ramainya suasana di dalam aula. Guru-guru ikut berjoget bersama siswa-siswa lainnya dari kursi penonton. Ada juga yang tidak malu ikut maju ke atas panggung.
“Gila itu cewe, Dave,” Dani menyentuh bahu temannya, David, yang sedang asyik memperhatikan dua siswa perempuan berpakaian aneh khas siswa ospek sedang berjoget di atas panggung. Mereka memakai rok rumbai-rumbai terbuat dari tali plastik dan topi terbuat dari kardus mie instan. Tidak lupa baju terbuat dari goni plastik dan papan nama super besar bertuliskan nama-nama aneh tergantung dileher. Mereka berdua bergoyang seperti urat malu sudah putus. Padahal mereka sedang di hukum berjoget karena terlambat di hari pertama MOS.
Sebelumnya David ikut berjoget. Tidak sampai satu menit berjoget, ia berhenti dan turun dari panggung. Bergoyang sekaligus tertawa membuat nafasnya sesak. Menepi ke area panitia di sebelah kanan barisan tempat duduk siswa baru, David memegangi dada. Matanya tak lepas dari salah satu siswa berkalungkan papan nama “Singkong”.
“Dave. David. David Ginandjar Bara,” teriak Dani tepat ke telinga David. Tak pelak, David memiting leher Dani dengan tangan karena telah mengganggu fokusnya. Mereka berdua saling membalas seperti dua orang anak kecil yang sedang berkelahi.
Tak berapa lama musik berhenti. Terdengar suara tidak setuju dari hampir semua peserta.
“Maaf teman-teman, tapi acara kita saat ini untuk menyambut siswa baru. Bukan untuk berjoget-joget. Jadi saya rasa senang-senangnya dicukupkan saja agar acara bisa selesai tepat waktu. Terimakasih.” Adam, ketua OSIS, terpaksa harus menghentikan acara joget-joget ria. Jauh di lubuk hatinya, dia juga sangat hanyut dalam kesenangan itu. Goyangannya malah lebih heboh dari anggota OSIS lainnya yang masih jaim.
Kedua siswi itu di persilahkan bergabung kembali dengan kelompoknya.
“Dan, matanya berbinar,” David menggumam setelah siswi yang berkalung papan nama “Singkong” lewat dari depannya. Meski sekilas, siswi itu tersenyum malu-malu sambil izin permisi lewat dari hadapan Dani dan David.
Dani segera mengerti arti pandangan David. “Trus si Agihta mau dikemanain, hah?” Dani berusaha menjitak kepala David tapi segera dilawan oleh Dani yang akhirnya membuat mereka menjadi pusat perhatian. Ibu Silaban a.k.a Ibu Gempal yang duduk dikursi tak jauh di depan mereka berdehem. Mereka meminta maaf lalu segera beranjak menuju tempat duduk paling belakang.
Tap!
Tatapannya bertemu dengan siswi baru itu lagi. Kali ini jantungnya berdenyut kuat. Herannya. denyut itu tidak terasa sakit. Malah seperti memompa sesuatu yang membuat rileks sekujur tubuhnya.
Satu pertanyaan yang dia lekatkan di dalam pikirannya.
Siapa dia?
***
Bagian 2: Tanjakan Yang Benar-benar Untuk Cinta
"Kak Dave...kenapa? Ayo jalan pelan-pelan. Tarik nafas....buang...tarik nafas lagi..." Agitha hampir terjatuh dari sepeda saat hendak menolong David, yang sudah terengah-engah sambil berjongkok memegang dada.
Dia membopong David ke pinggir jalan tanjakan cinta. Sementara Shaniar dan Dani sedang sibuk membopong Andrewi yang pingsan, ke mobil seorang pengunjung taman. Sebelumnya, Davidlah yang menelpon mereka dengan suara bergetar panik meminta mereka segera menyusul ke tanjakan cinta.
Drewi pingsan, info itu membuat Shaniar kelabakan. Tanpa menunda lagi dia langsung menuju ke tempat mereka. Sepanjang perjalanan dia menangis. Shanair tidak bisa membayangkan betapa merasa bersalahnya dia kalau Drewi benar-benar pingsan. Apa yang akan dia katakan pada orang tua Drewi nanti?
Beberapa pengunjung menyaksikan dari jauh kehebohan itu. Adam menenangkan sebagian para pengunjung yang mendekat. Menetralkan situasi. Kalau tidak, keramaian itu akan mempengaruhi David.
"Dave, masih kuat jalan? Atau tunggu sebentar di sini. Aku cari mobil dulu. Ok"
"Kak, Adam. Kakak bonceng kak David aja. Nanti aku bisa pulang naik angkot"