Tanpa Kata

Mayhtt
Chapter #47

Pertemuan Pertama I

Saat malam datang apa yang dilakukan pagi menunggu gilirannya datang? Bermainkah bersama jiwa-jiwa semesta yang tidak terlihat? Bercengkramakah bersama benda-benda di galaksi? Atau mencurahkan perasaannya pada si tuan lubang hitam? Di mana dia menunggu?

Adam dalam diamnya sesekali memikirkan pertanyaan-pertanyaan absurd seperti itu. Di luar, dia siswa yang tegas dan disiplin. Bukan orang yang bisa di ajak berbasa-basi. Kelihatannya susah di ajak kompromi apalagi mengenai peraturan sekolah.

Dia sang ketua OSIS. Akan tetapi jauh di dalam dirinya ada satu tempat berisi nyanyian-nyanyian sendu, irama-irama mellow, sisi di mana pertanyaan-pertanyaan absurd sesekali muncul jika dia bosan pada aktivitasnya sehari-hari. Jiwa melankolis tersimpan rapat saat berada di dunia nyata. Ketua OSIS hanyalah tameng.

 

Hari ini meski ada kegiatan baru bertemu orang-orang baru, tetap saja baginya tidak ada yang spesial. Hanya sebatas memenuhi tugasnya sebagai ketua OSIS. Masa jabatannya sudah akan berakhir tapi dia tetap berusaha setulus hati membantu kegiatan penerimaan siswa baru di sekolah SMA Darma Bangsa. Membagikan brosur promosi sekolah di depan gerbang dan sesekali menjadi tour guide bagi mereka yang ingin berkeliling.

Mengingat sekolahnya adalah sekolah paling luas dibandingkan baik dengan SMA Negeri maupun Swasta lainnya, mau tidak mau harus ada orang yang menjadi pendamping dadakan bagi calon-calon siswa baru. Terutama bila ada yang ingin menanyakan fasilitas-fasilitas sekolah.

"Makasih, kak."

"Sama-sama. Kalau mau berkeliling bilang saja. Saya dan teman-teman yang lainnya siap membantu jadi tour guide."

"Ok,” ucap seorang gadis berbaju biru muda lembut membawa satu kertas brosur yang Adam berikan. Dari jauh sudah terlihat gadis itu cemberut. Rata-rata calon-calon siswa yang datang memang berwajah cemberut. Mereka mungkin terpaksa harus masuk ke sekolah swasta, karena tidak di terima di sekolah negeri favorit yang mereka inginkan. Padahal fasilitas sekolah SMA Darma Bangsa jauh lebih bagus di banding sekolah lain.

Orang tua gadis itu sudah terlebih dahulu memasuki area sekolah, menunggunya yang sempat terhenti sebentar setelah ponselnya berdering. Dia berbisik-bisik di handphone menunjuk-nunjuk ke dalam sekolah. Dia juga mengeluhkan teriknya siang sementara mereka parkir di luar karna parkiran sekolah sudah penuh sesak.

"Kak, ayo. Panas."

"Iya, Riooo...sabar."

Anak laki-laki berkemeja hijau pastel menarik tangannya.

"Sebentar!!!" teriak gadis itu tiba-tiba. Dia memfokuskan matanya pada brosur. "Sebentar...sebentar," ulangnya lagi. Kemudian dia berbalik mencari laki-laki yang baru saja memberikannya brosur.

"Kak, maaf. Ini betul perpustakaannya lengkap, trus tiap tiga bulan sekali ada buku-buku baru?"

Adam membaca brosur di tangannya sebentar memastikan informasi itu. "Iya, betul sekali. Di sini perpustakaannya memang paling lengkap di bandingkan sekolah lain. Perpustakaan kita juga sudah beberapa kali mendapatkan penghargaan. Setahu saya paling luas juga di antara semua sekolah."

"Waauuuw...keren." Mata gadis itu berbinar-binar. "Bisa minta tolong antar ke perpustakaannya, kak? Saya mau lihat langsung."

Adam mengerjap-ngerjap mencerna ekspresi bahagia gadis itu. "Dengan senang hati. Ayo, ke arah sini. Kita lewat aula saja. Ada taman yang bagus juga di sana. Kamu pasti jadi makin suka sama sekolah ini." Adam mendahului gadis itu masuk berjalan ke gang kecil di samping pagar tembok. Ada jalan lurus tembus panjang ke arah sana. Beberapa tanaman hijau dan bunga-bunga menyambut. Seakan memanggil-manggil dan merayu untuk memuji keindahan kelopak warna-warni mereka.

Dalam benaknya, Adam bertanya-tanya apa gadis itu masih waras atau tidak. Bagaimana bisa perpustakaan bisa membuatnya sangat girang. Memang ada satu orang sahabatnya yang masuk ke sekolah ini karna lapangan bola basketnya luas dan lengkap. Dani Megantara namanya. Padahal Dani sendiri tidak bisa bermain bo;a basket. Ada satu lagi sahabatnya, David yang sangat suka basket, tapi keadaan tubuhnya tidak memungkinkan bermain basket. Adam menggeleng-gelengkan kepala karena bertemu dengan seorang siswa yang sama anehnya dengan teman-temannya.

Gadis itu dan Dani, mereka berdua juga sama-sama menyukai perpustakaan. Bedanya, sang Gadis sebegitu menyukainya sampai matanya berbinar-binar. Sudah pasti nanti jika dia jadi siswa sekolah ini, mereka berdua akan sering bertemu di perpustakaan. Sahabatnya, Dani, hanya tahu belajar dan belajar. Bosan belajar, kabur dari kelas berpura-pura izin ke kamar mandi, padahal dia tidur ke perpustakaan atau ke rumahnya yang tidak jauh dari sekolah. Beberapa kali pacaran, putus, lalu kembali memikirkan pelajaran. Satu-satunya keahlian Dani selain belajar adalah pandai bermain beberapa alat musik. Selain itu, kembali lagi belajar.

Wajah Dani sahabatnya dan wajah gadis itu muncul bergantian di khayalannya. Mereka pasti bisa jadi teman diskusi yang baik, pikirnya.

Di belakang pos satpam, tanaman-tanaman hijau sejuk menyambut mereka. Hawa berubah menjadi dingin saat mereka lewat dari belakang gedung besar Aula. Gadis itu tidak henti-hentinya takjub pada kesempurnaan tiap taman dan bangunan yang mereka lewati. Semua di atur sedemikian rupa bahkan sampai tempat sampah sekalipun. Warna dan bentuknya jelas sekali bukan bawaan tempat sampah biasa. Itu pasti sudah di dekor ulang, pikirnya. Sekolah ini pasti bukan sekolah sembarangan.

Sampailah mereka di depan perpustakaan. Gadis itu berdiri mematung seakan-akan itu adalah bangunan keajaiban dunia. Rimbunnya pohon-pohon dan bunga-bunga warna-warni berbagai bentuk menambah binar-binar di matanya. Terbayang sudah betapa indah hari-harinya nanti di sekolah. Bersantai-santai di perpustakaan jadi tujuan baru.

"Kak, nanti aku mau masuk sekolah ini juga." Rio adik gadis itu tiba-tiba sudah muncul di belakang.

"Kak,” panggilnya lagi sambil melambaikan tangan di depan wajah kakaknya.

"Ck! Sebentar, Rio. Lihat itu perpustakaannya."

Lihat selengkapnya