Di palung gelap sudut hati paling dalam.
Ada seberkas kerisauan menjalari dinding-dinding.
Ada sulur-sulur bahasa tidak terekam.
Di dalam kesendirian semua jelas.
Remah-remah jatuh remah-remah menutupi.
Tidak ada kunci tapi tidak yakin apakah terbuka.
Disingkap oleh apa pun tetap tidak nyata.
Perlahan-lahan pusaran tanya membentuk jurang.
Gema ragu terngiang-ngiang.
Memantul-mantulkan gelisah.
Saat ini jawaban apa yang tepat?
Alasan apa paling benar?
Bukan….
Pertanyaannya bukan itu.
Apa kiranya yang bisa menggulung
benang-benang terurai itu?
Sajak-sajak itu terbentuk begitu saja. Mengalir begitu saja keluar dari pulpen hitam yang di gerakkan oleh tangan Adam. Menari-nari di atas kertas tanpa terhambat. Dari kata awal hingga akhir semua meluncur mulus. Lega hatinya saat kata terakhir berhasil ia torehkan.
Lalu setelah tidak ada lagi kata yang muncul walau sudah memikirkan berkali-kali, Adam naik ke atas tempat tidurnya. Menarik selimut, membiarkan selimut itu menghalangi cahaya lampu kamar agar tidak menyilaukan mata. Dia sudah tidak ingin melakukan apa-apa lagi. Dia tidak ingin membaca puisi dadakan itu. Terlalu malu.
Belum pernah Adam menulis puisi dengan orang nyata itu ada di dalamnya. Biasanya topik puisi di buku agenda bersampul hitam yang sekaligus diarynya hanya berisi keluh kesah jenuh akan aktivitas sekolah dan cerita persahabatan. Untuk kali ini, ada seseorang nyata lebih dari apa pun bertengger di benak jadi sumber bahasa-bahasa melankolis. Keluar begitu saja dari balik angan siluet gadis itu.
Mematikan lampu pun sudah tidak ada gunanya lagi. Adam terlalu malu walau hanya untuk bangkit. Malu akan sisi lain dirinya. Malu mengakui di dalam dada ada hal aneh luar biasa. Dia bahkan malu untuk membuka matanya memandang tembok ataupun langit-langit kamar.
***
Dan, bapakmu yang bikin perpus sekolah kan?
Send
Bukan
Read
Trus?
Send
Tukang bangunan
Read
Hm
Send
Hm...
Read
Arsiteknya maksudku
Send
Betul
Read
Gaya bangunannya apa namanya?
Send
Gaya bebas
Read
Hm.
Send
Hm.
Read
Pala kaulah kutokokkan nanti