Dulu Adam suka sekali mengeluh tentang apapun yang tidak sesuai dengan rencananya. Adam adalah perencana yang baik dan handal. Hanya saja memang jiwa mudanya yang masih berapi-api, kadang membuatnya tidak sabar.
Titik puncaknya adalah ketika dia tidak lolos ke SMA Negeri 21 Sidikalang. Tempat dimana siswa pintar dan berambisi menimba ilmu. Sekolah prestigius yang bisa membuat orang-orang kagum. Masuk ke SMA Darma Bangsa hanya sebagai batu loncatan untuk masuk ke SMA Negeri 21 Sidikalang lewat jalur tidak resmi. Awalnya, Adam hanya ingin sampai satu semester saja bersekolah di sana.
Adam tidak terima dan merasa terhina ketika pertamakali memasuki SMA Darma Bangsa. Mengingat bagaimana usahanya mengikuti les kesana kemari, tidur hanya beberapa jam bahkan mengurangi jam istirahat hanya demi SMA favorit.
Adam sungguh tidak bisa menerima kenyataan di hadapannya. Lama sekali dia berdiam diri di kamar mengacak-acak semua barang-barang, memecahkan cermin juga benda-benda lainnya. Buku-bukunya sudah dia bakar terlebih dahulu setelah pengumuman keluar.
Orang tuanya yang tidak tega melihat anak semata wayangnya berubah drastis pun berusaha sekuat tenaga membujuk. Hingga akhirnya ada kenalan ayahnya yang bersedia membantu memasukkan Adam lewat koneksinya. Ketika kenalan ayahnya itu mengatakan akan menjamin 100% masuk, Adam bangkit kembali. Sudah berhari-hari tidak keluar dari kamar, tidak makan, hanya menghabiskan air minum yang selalu diletakkan ibunya di depan kamar.
Adam harus menunggu satu semester dulu untuk bisa masuk. Ketatnya persaingan di SMA Negeri 21 Sidikalang, kadang membuat murid-muridnya tidak tahan. Tiap semester usai, ada saja siswa yang mengundurkan diri baik atas keinginanya sendiri ataupun dari sekolah karna nilai-nilai yang tidak mencapai batas yang ditentukan.
Bagi Adam ambisinya untuk menjadi siswa di sekolah terbaik adalah hal yang mutlak. Tekadnya sangat kuat dan teguh. Tidak ada yang bisa menghalangi. Meski dengan cara tidak resmi dan harus menunggu satu semester pun, tidak apa-apa.
Maka dipilihlah SMA Darma Bangsa, salah satu SMA swasta terbaik, agar harga dirinya tidak jatuh-jatuh amat kalau suatu ketika bertemu murid alumni SMPnya.
Takdir berkata lain. Bertemulah Adam dengan David saat pendaftaran siswa baru. Gaya berpakaian David yang stylish jadi pusat perhatian. Kulit putihnya juga membuatnya mencolok. Selain itu, badan David yang terlihat lemah, kurus kering jadi salah satu faktor Adam menyadari kehadiran David.
David sedang mencari-cari tempat duduk untuk mengisi formular pendaftaran. Satpam mengarahkanya duduk tepat di samping Adam. Diikuti ibunya dari belakang, David duduk setelah sebelumnya tersenyum ramah pada Adam. Adam tersenyum sedikit lalu kembali fokus menunggu gilirannya di panggil. Dalam benak Adam, David pasti siswa berandalan yang terpaksa harus pindah karna sekolah-sekolah di kotanya sudah tidak mau menerima.
Beberapa menit kemudian David meminta Adam membantunya mengisi formulir. Adam yang awalnya ogah-ogahan membantu, seketika terkesiap ketika David mengisi centang “Jantung” pada kolom penyakit. Dia terdiam sejenak menelaah. Tidak percaya. Dalam hatinya Adam bertanya, bukankah David terlalu muda untuk penyakit berat seperti itu? Bagaimana nanti dengan ambisi dan cita-citanya jika penyakit itu tiba-tiba merenggut nyawanya?
Adam menyadari usia mereka sama. Fakta yang sesakkan dada. Diam-diam Adam menatap David tidak percaya. Lalu duduk termenung setelah David selesai mengisi formulir.
Ketika menunggu giliran registrasi, Adam kembali membantu David menunjukkan toilet sekolah. Dia juga sekaligus ingin membeli minuman karna sedari tadi orang tuanya kehausan. Di luar, Adam yang sudah tidak bisa menahan penasaran, bertanyalah dia pada David.
“Kata dokter harapannya masih panjang. Bukan seperti di film-film langsung koit.” David tertawa cairkan suasana setelah menceritakan asal mula penyakitnya.
“Jadi pindah kesini hanya karna udaranya bersih?” seketika Adam menyesal telah mencap jelek David tadi.