Tanpa Kata

Mayhtt
Chapter #51

Pertemuan Pertama III

Sisa-sia air hujan menetes menyejukkan hari. Jejak-jejak kaki Dani membentuk cekungan di tanah basah bercampur dengan jejak-jejak kaki lainnya di depan perpustakaan. Tanaman-tanaman yang ada di taman perpustakaan basah, tegaskan hawa dingin.

Teman-teman Dani sedang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Nongkrong di kantin ditunda sementara. Tujuannya selain kantin dan lapangan basket adalah perpustakaan. Dia berhenti sejenak memandang pintu masuk, di sana tampak beberapa murid lainnya bergerombol keluar. Keramaian yang tidak biasa di perpustakaan membuatnya sedikit enggan melangkah.

Leher jaket dia rekatkan kembali sambil berlari masuk. Buku Paulo Coelho yang dia pinjam sudah harus dikembalikan. Sudah tenggat waktu dan Ibu Tarigan tidak suka dengan alasan apapun jika terlambat mengembalikan buku.

“Danii” Ibu Tarigan menyambutnya dari belakang meja tinggi resepsionis.

“Kak Mira kemana, bu?”

“Sakit.”

“Oooh…. Lagi rame, bu?”

“Biasalah…murid-murid baru. Masih semangat. Nanti beberapa hari sepi lagi pasti. Ini aja masih termasuk sepi. Biasanya antri sampai depan pintu.”

Dani mendengus geli. “Buku tamunya saja belum penuh, bu.” Ibu Tarigan mengangguk menyetujui perkataannya.

Dani jadi teringat dulu saat hari pertama masuk sekolah harus ikut mengantri panjang di tempatnya berdiri sekarang demi meminjam buku. Buku tamu penuh, kursi dan meja penuh, bahkan banyak yang duduk di lantai. Beberapa hari berikutnya ruangan itu berubah drastis. Sepi seperti tidak ada kehidupan. Hanya beberapa siswa yang datang sesekali. Selebihnya hanya dia yang tetap konsisten sering berkunjung ke perpustakaan, baik saat di sekolah maupun di luar jam sekolah.

“Eh…tapi ada satu murid yang persis seperti kamu. Hampir setiap hari ke sini.”

“Siapa, bu?”

“Ada murid perempuan. Nanti ibu kenalkan kalau dia datang. Cantik orangnya.”

“Ah…ibu, saya ke sini mau baca buku. Bukan mau lihat yang cantik-cantik.”

“Ya, siapa tahu aja. Kan, bagus punya teman yang hobi baca. Ibu tidak bilang harus pacaran.”

“Iya, iya bu.”

Setelah menulis nama dan mengembalikan buku, Dani masuk memilih-milih buku yang ada di rak langganannya. Rak persis setelah sekat tripleks pemisah ruang resepsionis dan ruang baca utama.

Ada dua rak berjejer tegak lurus dari sekat yang berisi khusus buku-buku fresh. Buku-buku yang baru sampai. Setiap 3 bulan sekali, buku-buku di rak itu pasti diganti dengan buku baru lainnya. Ibu Tariganlah yang memberitahukannya dulu.

Beberapa buku baru pun sudah berpindah ke tangan Dani. Lalu hati-hati dibawanya ke ujung lorong di belakang rak. Tempatnya biasa tidur menutup wajah dengan buku kalau sedang ada jam kosong atau karena kelelahan. Sudut yang terbentuk antara sekat dan dinding jadi tempat sandaran. Tidak butuh lama, suasana hening perpustakaan membuatnya hanyut ke dalam buku.

“Andrewiiii...” teriak Ibu Tarigan beberapa menit kemudian.

Kalau saja bukan karna nama itu, Dani pasti sudah berdecak kesal. Namun, tanpa komando, telinganya siaga menangkap suara-suara dari meja resepsionis. Rasa penasarannya membuncah seketika.

“Ibu...Buku yang ibu rekomendasikan bagus, bu. Belum sehari sudah selesai saya baca.”

“Woow...serius?”

“Serius, bu. Ini saya mau kembalikan bukunya trus mau pinjam buku lain lagi.”

“Jarang-jarang ada murid seperti kamu, Drew.”

“Hehe…kak Mira kemana, bu?”

“Lagi sakit.”

“Oooh… Saya mau pinjam buku lain lagi boleh, bu?”

Lihat selengkapnya