Setiap hari ada saja bagian-bagian dari dunia ini yang berubah. Datang dan pergi seakan-akan menyuruh kita untuk tetap membuka mata meski sedang tidur sekali pun. Berjaga-jaga terhadap apa pun, sadar maupun tidak sadar, secara langsung maupun tidak langsung. Dunia tidak mau menunggu walau 1 detik saja. Dunia terus berputar walau sekeras apa pun kita berteriak menyuruhnya berhenti. Selembut apapun kita membujuknya.
Jika kita lengah maka sudah pasti kita akan tertinggal. Ingat, dunia tidak bisa membuat waktu menunggu. Maka bangkitlah lagi, berjalan lagi, berlari yang kencang agar setidaknya tidak tertinggal terlalu jauh.
Tidak perlu terlalu sejajar dengan dunia. Setidaknya jalan masih terlihat di depan sana, meski pun itu hanya sekecil titik cahaya. Relakan saja jika memang tidak bisa menggapai dan menggenggamnya seerat yang kau mau. Setidaknya masih ada warna-warna lain mengisi kehampaan dan kesepian kita.
Dunia ini terlalu besar untuk kita ikuti. Dunia ini terlalu kejam untuk kita saingi. Dunia ini terlalu cepat untuk kita kejar. Ambil yang kita butuhkan saja, selebihnya, biar dunia miliki, biar jadi koleksi rahasianya saja....
Sudah dua kali Adam memutar penggalan video pidatonya sendiri di upacara MOS 2 bulan lalu. Video pidato itu baru saja tadi sore dikirim oleh Danila, sekretaris OSIS. Di meja makan sambil menikmati Pop Mie, Adam mencermati lagi isi pengggalan pidato.
Adam sadar betul tujuan utama dari isi pidato yang dia susun untuk menyemangati sisa-siswa baru. Agar mereka tidak kecil hati masuk ke sekolah swasta dan bukan ke sekolah negeri. Di malam yang sudah larut, dia menemukan isi penggalan itu sebenarnya ditujukan untuk dirinya sendiri. Bukan hanya karena pengalamannya tidak masuk sekolah negeri, tapi juga untuk situasinya saat ini.
Ada banyak hal-hal yang buat keruh suasana hatinya sebelum menonton video. Ada banyak kata-kata asing dan tidak tersusun ketika coba menjernihkan. Isi pidato itu hadir di saat yang tepat bantu urai kemelut dalam hati.
Andrewi adalah ibarat bagian bunia yang tidak wajib dia kejar. Tidak harus dimiliki. Usianya masih terlalu muda untuk menetapkan satu dunia pasti. Usia yang terlalu dini untuk memaksakan kehendak. Pengalaman sebelumnya telah berikan perspektif baru. Mungkin saja dengan melepaskan lagi, bisa membuat hati lebih lega. Tidak kacau lagi. Tidak rangak lagi.
Juga, tidak ada salahnya mengalah pada persahabatan yang sudah terlebih dahulu ada sebelum Andrewi muncul di antara mereka.
Adam membereskan wadah Pop Mie dan buru-buru naik ke kamar. Dia mengambil buku Agenda berwarna hitam, lalu mencari halaman bertanda 100 impian. Dia mencoret nama Mefia Andrewi dari urutan terakhir dari 50 impian yang sudah dia tulis. Kini impian itu tinggal 49.
Nama David ada di urutan pertama. Adam menuliskan agar David selalu bahagia dalam hidupnya. Lalu dia menambahkan kata “bersama Mefia Andrewi” di samping kata terakhir. Dia tersenyum bahagia, lega, dan tulus. Pikirannya sudah tidak sekacau kemarin-kemarin. Ada kehangatan damai jalari jiwa. Tidurnya pun lebih cepat lelap dari kemarin-kemarin.
***
“Udahlah, Dam. Kau aja lagi yang jadi ketua OSIS”
“Pusing kepalaku, No. Lihat aja tingkah siswa yang satu itu.” Gerakan kepala Adam menunjuk Bownie di meja lain, duduk dikelilingi murid baru.
Pulang sekolah, Adam, Bownie, Issano dan Dani berkumpul di kantin menunggu David yang sedang ke ruang kepala sekolah. Bownie tadinya hanya ingin menyapa adik kelas yang dia anggap cantik dan sesuai tipenya. Murid-murid perempuan lain malah datang berkumpul mengelilingi. Apalagi setelah Bownie mentraktir minuman dan makanan mereka. Perkumpulan itu semakin seru. Bownie pun semakin senang dan darah mudanya menggelora. Flamboyan sudah melekat lama dalam darahnya baik dari sifat maupun penampilan. Dia bersinar terang oleh keflamboyanannya itu.
“Untunglah siswa kaya si Bownie ini cuma satu.”
“Kalau ada 2 aja, pasti langsung pindah sekolah aku. Nggak cuma mundur dari OSIS lagi, Dan.”
“Herannya, kita nggak malu, ya, punya teman sipanggaron seperti dia.”
“Yah, mau kaya mana lagi, No. Sama kita aja yang jelas-jelas ada Adam di sini, mana bisa buat dia tobat. Coba bayangkan kalau temannya sama orang lain.”
“Hancur dunia persilatan, Dan.”
“Wahahaha...” Tawa mereka sampai di telinga Bownie. Dia tersenyum puas menaik turunkan kedua alisnya pada mereka.
“Si David kemana, Dam?”
“Lagi mengurus absennya di ruang kepala sekolah.”
Mereka manggut-manggut. Dani menyeruput minumannya menimang-nimang apakah harus jujur pada teman-temannya tentang perasaannya beberapa bulan ini.
“Kenapa sekolah nggak bikin aturan izin khusus aja buat dia, Dam? Dari pada bolak-balik terus mengurus absen. Toh, tiap bulan udah pasti check up. Bisa sampai dua kali lagi sebulan.”
“Orang yang tahu dia sakit jantung cuma kita, kepala sekolah sama guru-guru, No. Lagian dia juga izin kalau dokternya nggak bisa hari Minggu aja. Untungnya sekolah kita memaklumi. Kalau sekolah-sekolah sebelumnya malah disuruh dia pindah ke SLB aja. Kan, nggak masuk akal.”
“Apa pula hubungan SLB sama penyakit jantung. Ada-ada aja sekolahnya itu kutengok.”
“Makanya David betah di sini. Jangankan izin, kepala sekolah dan guru BK kasih dia satu ruangan khusus kalau butuh istirahat. Syaratnya, kalau izin, harus ada bukti laporan hasil pemeriksaan dari rumah sakit dan dokter . Trus ada sesi kuis tersendiri khusus untuk si David supaya jangan ketinggalan pelajaran. Jadi kalau lama di ruangan kepala sekolah, itu dia pasti sekalian kuis.”