“Dave...Dave...Githa dibawa ke rumah sakit.”
“Hah? Rumah sakit?”
“Udah...udah kita ke sana sekarang. Naik biar kubonceng.” David menaiki boncengan motor Adam.
Masih panik, mereka melaju cepat ke rumah sakit tempat di mana Agitha dirawat. Plastik berisi bubur ketan hitam masih bertengger di tangannya ikut terhuyung-huyung di terpa angin kencang. Tadinya bubur ketan itu untuk Agitha yang belum sarapan.
David dan teman-temannya datang menghadiri olimpiade untuk mendukung Dani dan Agitha. Sekaligus menjalankan rencana berkenalan dengan Andrewi. Kabar yang tiba-tiba itu pun gagalkan semua rencana.
“Sakit apa Agitha, Dam?”
“Katanya alerginya kambuh,” teriak Adam membalas teriakan David.
Agitha alergi udang. Tante Karin dan Om Bambang tahu pasti itu. Jadi tidak mungkin mereka membekali Agitha makanan yang mengandung udang. Tidak mungin juga Agitha membeli sembarangan makanan yang bisa bangkitkan alerginya. Jangan-jangan ada orang lain yang sengaja. Kalau iya, apa maksud dan tujuannya? David tidak bisa tentramkan kacau kepala. Khawatir dan sedih membuat perjalanan berjalan lebih lama. Jangan sampai terjadi apa-apa pada Agitha, pintanya dalam hati.
Dulu adik kecilnya itu sudah pernah masuk rumah sakit karna alergi yang sama. Waktu itu mereka baru saja masuk SD. Agitha memaksa memakan bekal David, bubur nasi di campur udang dan wortel. Agitha menangis menggaruk-garuk sekujur tubuhnya kemudian. Sepanjang perjalanan ke rumah sakit tidak henti-hentinya David menangis merasa bersalah.
Di rumah sakit, David menangis kencang meminta Agitha yang dia kira sudah "tidak ada" untuk bangun. Ia tidak sampai hati melihat Agitha terbujur di atas tempat tidur pasien dengan selang-selang infus menempel. Dia tahu bagaimana rasanya tersiksa di atas tempat tidur rumah sakit. Tak pernah David ingin orang-orang yang dia sayang merasakan hal yang sama.
"Bunda pokoknya David harus jadi kakaknya Agitha. David mau jagain Agitha biar jangan sakit lagi. Mulai sekarang aku nggak mau makan udang lagi. Nanti Agitha jadi sakit," tangis kencangnya mengisi seluruh ruangan. Orang tuanya dan orang tua Agitha, tersenyum-senyum saja. Mereka tidak tega memberitahukan bahwa Agitha tidak akan kenapa-kenapa. Hanya alergi biasa. Dan perlu istirahat sebentar. Saat itu, David menangisi Agitha yang sedang tidur.
***
Dani berjalan bolak-balik di dekat pintu ruangan khusus tim sekolah. Di tangan, botol air minum kemasan tergenggam erat. Kalau saja bisa menyeruak kerumunan yang mengelilingi Andrewi untuk gantikan posisi guru pendamping. Menenangkan tangisan Andrewi.
Bukann bermaksud tidak simpati pada Agitha yang sedang dalam perjalanan ke rumah sakit. Sebab di sisi lain, ada Andrewi menangis ingin pulang, merasa bersalah karna telah membuat kekacauan. Tak bermaksud hianati janji, hanya saja Andrewi sedang membutuhkan dorongan semangat. Dani ingin sekali duduk di sampingnya memberikan semangat. Memberikan minuman dan menghapus air mata Andrewi dengan sapu tangan. Entahlah kemana perginya keberanian.
Berjalan kesana-kemari sedikit banyak bantu tentramkan gelisah Dani. Logika dan hati pun berdebat, beranikah ia maju sekedar memberikan air mineral.
Suara tepuk tangan terdengar dari kerumunan. Guru pendamping ucapkan terima kasih pada Andrewi yang akhirnya tetap mau melanjutkan perjuangan. Mereka teriakkan nama Andrewi dan menepuk-nepuk memberi semangat. Kerumunan bubar saat Andrewi dibawa ke ruang panitia untuk menjelaskan apa yang terjadi. Dani memandang nanar saat Adnrewi lewat dari depannya, masih sesunggukan.
“Semangat, Drew,” kalimat itu sudah berada di ujung lidah. Sampai Andrewi keluar dari pintu pun tidak ada satu huruf terucap. Dani mengacak-acak rambut, menarik-buang nafas beberapa kali.
Begitu ke luar ruangan, Issano dan Bownie sudah menunggu dengan gelengan kepala serta wajah yang mengancam. Mereka berdua membawa Dani ke sudut sekolah jauh dari orang-orang.
“Sepertinya kita mencium ada bau-bau penghianatan di sini.”
“Bukan gitu, No. Andrewi lagi nangis tadi.”
“Trus?”
“Di situ ada banyak guru pendamping, Dan.” Bownie dan Issano bergantian menginterogasi Dani.
“Logikanya aja, Bown. Kau suka sama orang, trus dia lagi nangis. Kalau kalian jadi aku juga pasti ikutan gelisah, tapi hanya sampai gelisah aja.”
“Jujur ajalah, Dan. Kau sebenarnya udah nggak sanggup, kan?”
“Apanya yang nggak sanggup, No?” Dani bertanya kesal. Dia sadar betul tidak bisa membohongi Issano dan Bownie.
“Jangan-jangan waktu latihan kelas olimpiade, kau curi-curi kesempatan PDKT sama dia, iya, kan?”
“Kau jangan sembarangan ngomong, No. Jadwal kelas aja beda. Dia Biologi, aku Matematika. Sehari aja pun mana pernah ketemu. Mau PDKT dari mana?”
“Percaya, No?”
Issano berifkir sebentar lalu menemukan kejujuran dari wajah Dani dan gelagatnya. “Percaya, Bown. Ke perpus aja sudah jarang.”
“Ok. Kita percaya.” Bownie dan Issano merangkul Dani kiri dan kanan seraya meminta maaf karna sudah curiga.