Tanpa Kata

Mayhtt
Chapter #55

Membangkitkan Hati

Ada alasan bagi setiap orang untuk tetap bersama. Ada sebuah cerita indah yang tidak bisa diabaikan meski hati sudah terluka. Di mana pun sebuah kesungguhan dipinta, akan ada cerita lain dari setiap sisi ketika janji itu jadi nyata. Hanya bagian-bagian lain dari diri yang tidak bisa menyangkal, bagian utamanya menuruti saja ke mana arah angin membawa. Setiap orang seharusnya punya keberanian untuk mengatakan apa pun yang ingin dikatakan meski dari luar kelihatannya tidak memungkinkan.

“Hai, adik kecilku.”

David yang sedang bermain game menatap datar pada kakaknya, Diva. Sudah dua hari Diva berlibur ke Sidikalang. Hari pertama, banyak sekali titipan dari ayah mereka untuk David. Oleh-oleh itu membuat David kegirangan seperti anak kecil. Mereka menghabiskan hari dengan bernostalgia, akrab dan bercanda melepas rindu. Hari berikutnya kembali lagi seperti tom and jerry, sebagaimana kehidupan bersaudara pada umumnya.

“Kenapa? Emang kamu masih kecil, kan? Durhaka kamu sama kakakmu. Bunda, lihat David, bun, masih kecil tapi sok-sok sudah dewasa.” bantal sofa kecil mendarat di wajah David menghalangi konsentrasinya bermain game.

“Memang sudah dewasa.”

“Masa? Sudah punya pacar belum?”

“Memangnya standar dewasa harus punya pacar dulu?”

“Iyalah, menandakan sudah bisa bertanggung jawab terhadap diri dan pacarnya.”

David menghela nafas setelah membayangkan Bownie yang sudah berkali-kali berganti pacar. Mungkin Bownie bukan hanya sudah dewasa saja, tapi sudah jadi dewanya para orang-orang dewasa.

“Malah menghela nafas. Kenapa? Sudah menyadari kalau dirimu itu masih anak kecil, hah?”

“Kalau itu yang jadi standarnya, aku belum mau jadi dewasa.”

“Nah, makanya kamu itu lebih cocoknya jadi adik kecil.”

“Ma, suruh kakak pulang ke Bandung lagi ajalah. Berisik.”

Di dapur bunda Adelia tertawa-tawa kecil mendengar perkelahian mereka berdua. Sedari bangun pagi sampai jam makan siang mereka banyak berdebat meramaikan suasana rumah. Meja pun sudah penuh dengan makanan kesukaan Diva dan David. Segera dia memanggil mereka untuk makan bersama. David dan Diva berlari, berlomba siapa yang paling cepat sampai ke meja makan yang jaraknya sangat dekat lalu saling berebut duduk di samping ibu mereka.

“Oh, iya, Bunda. Kata ayah, bunda sama ayah mau rujuk lagi?” tanya Diva di tengha-tengah asyik memakan seblak goreng buatan bundanya.

“Serius, bunda?” mata David membelalak bahagia.

“Iya, Dave. Ayah bilang, dia mau cuti dari perusahaan trus mau datang ke sini. Mau tinggal sama kita sebentar. Setelah itu, baru kita tinggal sama-sama di Bandung kaya dulu lagi.”

Semakin meletup-letuplah rasa bahagia David. Tanpa malu, air matanya jatuh tidak tertahan. Adelia di sampingnya menyeka dengan lembut. David menghambur memeluk menumpahkan tangisnya tanpa henti. Diva yang duduk di seberang, bangkit berdiri ikut memeluk. Betapa sempurnanya hari di mana makanan enak dan kabar bahagia bersatu padu.

Pelukan itu buyar oleh dering suara handphone Adelia. “Darius”, nama ayah mereka tertulis jelas di layer.

Sorakan ciee serempak keluar dari David dan Diva.

“Sudah...sudah. Orang dewasa sedang ada urusan. Anak-anak kecil tolong rapikan meja makan, trus piringnya dicuci bersih, ya.” perintah Adelia itu membuat godaan David dan Diva semakin kencang mengiringi langkahnya ke ruang depan.

 

“Dave, kakak mau tanya sesuatu.”

“Hm.”

“Bahasa inggrinys Gadis yang matanya bersinar apa, ya?”

“Maksudnya?”

“Mata Agitha warna hitam, kan?”

David berpikir sebentar membayangkan mata Agitha. “Iya, hitam,” tangannya masih tetap menggosok piring dan gelas. Sementara Diva membantu membilas dan menyusun di rak piring.

“Berarti harusnya hitam dan bersinar, dong?”

“Kakak mau membahas apa, sih? Kalau kakak mau jadi orang gila, sendirian aja sana. Jangan ajak-ajak orang.”

Diva memukul kepala adiknya pelan, “Trus, Bright Eyed Girl itu siapa? Agitha bukan?”

Tangan David mendadak berhenti, matanya menatap tajam Diva. Diva perlahan-lahan berjalan mundur mengejek dengan wajah melet-melet lalu mengeluarkan handphone David yang sedari tadi dia sembunyikan di kantong celana.

“Kak Diva…” teriak David kencang mengejar Diva ke halaman belakang.

Di halaman belakang Diva menjadikan meja bulat taman sebagai tameng. Dia mengangkat-angkat handphone David memancing mengejarnya.

“Salah sendiri kenapa passwordnya belum diganti.”

“Kembalikan, ka. Itu namanya melanggar privasi orang.”

“Waah, adik kecilku ini ternyata sudah mengerti apa arti privasi. Ok, aku kembalikan tapi dengan satu syarat.”

“Ck! Syarat apa lagi.”

“Aku harus ikut ke lapangan basket tempat kamu dan teman-temanmu kumpul, titik. No nego.

“Ck!” David berdecak kesal lagi. Diva memang tidak bisa membiarkannya menutupi apapun. Kakaknya itu selalu saja ingin tahu apa pun tentang hidupnya bahkan tentang teman-temannya. Agitha mungkin tahu tentang semua penyakit dan sebagian besar keseharian David, tapi masih ada Diva yang lebih tahu dari siapapun.

***

Seperti bintang dilangit

Begitu cinta kita

Tak kan pernah binasa

Lihat selengkapnya