Hati itu sebenarnya terbuat dari apa? Bukan organ hati atau liver, tapi hati yang bisa merasa itu.
Hari ini rasanya seperti bisa menghadapi dunia, menantangnya, melihat lebih luas dan dalam. Esoknya bahkan mungkin menit berikutnya semua porak poranda. Seperti dunia ini sedang mencoba menghimpit sampai ke titik paling rendah bahkan sampai di bawah 0. Minus.
Sebenarnya apakah hati bisa bertahan pada satu ketetapan saja selamanya atau apakah memang dia diciptakan untuk selalu berubah arah? Kalau saja semua hal di dunia ini tidak berubah-ubah, mungkin sebagian besar kesedihan tidak akan tercipta. Tidak akan ada. Tidak akan muncul. Lebih-lebih lagi yang berujung penyesalan.
“Pertamakali dalam sejarah sekolah kita dan mungkin sejarah di sebagian sekolah lain. Ketua OSIS kita, Adam Witjaksono, menjabat untuk ketiga kalinya. Keputusan rapat dewan sekolah dan yayasan yang di hadiri perwakilan siswa, guru dan orang tua sebelumnya, mutlak 100% menyetujui pencalonan kembali Adam. Hasil rapat juga menyetujui hasil perhitungan. Untuk itu saya dengan segala kagum dan bangga mempersilahkan ketua OSIS kita, Adam Witjaksono, memberikan sambutan di atas podium ini. Silahkan, nak.” Pak Hasiholan Sitanggang, kepala sekolah SMA Darma Bangsa, mempersilahkan Adam menaiki podium. Tepuk tangan meriah terdengar dari semua murid dan guru yang hadir di upacara Senin sekaligus pelantikan Adam sebagai ketua OSIS kembali.
“Terimakasih saya ucapkan atas dukungan dan restu telah memilih saya kembali memangku jabatan ini. Terutama untuk sahabat-sahabat saya, David, Dani, Issano dan Bownie yang setia menjadi tim sukses saya.” Adam melambaikan tangan pada ke-empat sahabatnya. Mereka yang sedang berkumpul di bawah pohon membalas dengan suara riuh rendah.
“Sejujurnya, ada kekhawatiran dalam diri saya apabila nanti tidak terlalu fokus seperti tahun-tahun sebelumnya. Seperti yang kita tahu, tahun ini saya adalah murid kelas 3, masa-masa UN adalah fokus utama. Akan tetapi sebagaimana dukungan-dukungan teman-teman semua, saya akan berusaha melakukan yang terbaik. Sekuat tenaga akan saya jalankan amanat dari kalian. Untuk itu kedepannya saya meminta untuk tetap mendukung dan membantu saya, agar apa yang terjadi hari ini akan berakhir indah seperti harapan-harapan kita semua. Terimakasih.”
Kembali tepuk tangan meriah bergemuruh terdengar saat Adam menunduk dan turun dari podium. Semua siswa menyeru-nyerukan namanya ketika kembali ke barisan kelas. Upacara ditutup dengan mengosongkan satu jam mata pelajaran untuk menikmati hari penuh sejarah. Makanan dan minuman tersedia berjejer di depan Aula. Semua siswa berpesta bahagia.
Teman-teman sekelas Adam berkumpul membanggakan dirinya. Bownie yang tahun ini satu kelas dengan Adam mengangkatnya ke atas pundak. Confetti yang telah mereka persiapkan pun terbang memencar di udara dan tubuh Adam. David, Dani dan Issano menyusul memukul-mukul begitu Adam turun dari Pundak Adam.
Para wartawan-wartawan mading sekolah ikut berkerumum meminta waktu Adam untuk wawancara. Adik-adik kelas mencuri kesempatan melihatnya dari dekat. Semua orang campur aduk di sana. David yang tidak tahan dengan sempitnya kerumunan, memisahkan diri menekan-nekan dadanya yang sedikit sesak.
Tak tahan dengan detak jantung yang semakin berpacu tak karuan, David duduk di undakan semen tiang bendera. Melihat betapa semua orang bahagia meneriakkan nama Adam, dalam hatinya, ada muncul rasa iri.
Sejak awal bertemu sesungguhnya rasa iri itu sudah ada tatkala Adam cerita tentang kisah hidupnya. Termasuk ambisi-ambisi yang akhirnya membuat depresi. Jauh di dalam lubuk hati, David ingin sekali merasakan depresi itu. Depresi karena memperjuangkan pilihan cita-cita dan ambisi. Memiliki tekad kuat untuk masa depan. Bukan depresi karena tidak bisa memilih seperti dirinya. Rasa iri yang sudah lama terpendam muncul kembali kala melihat Adam dielu-elukan dan dibangga-banggakan semua orang.
Pernah sekali waktu, David masuk rumah sakit sehabis bersepeda dengan Dani, Issano dan Bownie. Saat itu mereka masih kelas satu dan mereka belum tahu tentang penyakit David. “Kalau reinkarnasi memang ada, di kehidupanku selanjutnya aku sangat ingin jadi Adam. Adam Witjaksono. Manusia sempurna, panutan semua orang.” Adam terbatuk-batuk mendengar ucapan David yang bersender lemah tak berdaya di atas tempat tidur pasien.
David menarik nafas, mengingat kembali ucapannya itu. Seandainya saja dia juga yang diangkat dan diarak keliling kelas. Mendapatkan tepuk tangan meriah dan ucapan selamat dari sana sini.
Semua yang ada dalam kehidupan Adam, mulai dari betapa damai hubungan orang tuanya, ketegasan, disiplin, kharisma, bahkan sampai gaya berpakaiannya pun sangat sempurna. Sangat ingin David miliki semua. Betapa bahagianya hidup jika dirinya adalah Adam, pikirnya selalu, jika rasa iri itu muncul.
Selagi menatap bangga pada Adam yang di arak ke sana-kemari, David menemukan Andrewi dan temannya Shaniar berdiri di seberang sana. Di dekat meja-meja berisi makanan di depan Aula. Mereka sedang menikmati hidangan sambil memegang papan nama bertuliskan nama lengkap Adam. Gambar hati berwarna pink mencolok mengapit di kiri dan kanan nama Adam.
Sempurnalah sudah hidup jika seandainya dia adalah Adam. Akan sangat mudah baginya mendekati Andrewi. Betapa dia akan sangat percaya diri menyebutkan nama lengkapnya, mengajak pulang bersama dan tentu saja mengutarakan perasaan. Tak lupa bergandengan tangan di tempat-tempat romantis. Terutama pastinya bisa jadi orang yang dapat diandalkan oleh Andrewi di segala tempat dan waktu.
Jika dirinya adalah Adam, tidak akan ada waktu setahun yang terbuang sia-sia hanya menatap dari jauh. Bahkan mungkin saja mereka bisa hidup berbahagia, menikah, memiliki anak yang lucu-lucu dan pintar, membesarkan mereka dan menua bersama.
“Seandainya aku adalah Adam,” ucap David lirih.
David masih menatap mereka berdua tanpa menyadari Andrewi dan Shaniar sedang berjalan ke arahnya. Jarak mereka sudah dekat ketika dia sudah tersadar. David terpaku tidak bisa berbuat apa-apa walau hanya sekedar memalingkan wajah.
Jantungnya kembali berpacu cepat tak berirama. Nyeri sekali sampai-sampai dia menyentuh dada mencoba menahan. Untung saja Andrewi dan Shaniar tetap berjalan lurus melewati, saat tubuhnya hampir oleng. Tangan David gemetar, dayanya pun melemah. Perpaduan gugup dan kekacauan pacuan jantung telah timbulkan gejala awal serangan jantung yang biasa dia alami.
David menghirup udara banyak-banyak mengisi penuh rongga dada. Nafas pun keluar kencang kemudian untuk lampiaskan kecewa sebab ternyata betapa lemah diri saat berada di dekat Andrewi.
Ia berdiri pelan-pelan lalu balikkan badan, melihat sudah sejauh mana jarak mereka. Begitu Andrewi dan Shaniar sudah tak ada lagi di sana, barulah David menurunkan tangan dari dada dan bersender di tiang bendera menatap marah ke langit. Mengapa hidup begitu rumit untuk hal-hal yang seharusnya tak rumit? Tanya itu menggema di dalam hati tertuju pada Sang Kuasa yang ada di atas langit.
Sementara tidak jauh dari tiang bendera, Bownie sedang sibuk menghitung lembaran uang sepuluh ribuan, hasil taruhan antara dirinya, Dani, Issano juga Adam. Setelah arak-arakan selesai, mereka juga melihat Andrewi dan Shaniar berlajan ke arah tiang bendera. Mereka bertaruh apakah David berani atau tidak mengajak Andrewi berkenalan. Hasilnya, Bownie menang telak karena David masih saja belum berani.
Diam-diam Adam menatap David penuh makna. Hatinya memang sudah bangkit mengarah kembali pada Andrewi. Namun cara David menatap langit itu adalah salah satu warning keras untuk segera menolong ringankan beban David. Membantu David ungkapkan rasa terpendam kepada Andrewi. Harus dan segera.
***
Beberapa hari kemudian...
“Anak hasianku, Adam. Kau ajalah, ya, nak jadi Raja Sisingamangaraja. Enggak ada lagi murid-murid lain yang sepantas kau.”
“Saya bukan bermaksud menolak, bu. Siapa tahu masih ada siswa lain yang mau memerankan. Anak-anak ekskul teater bimbingan ibu misalnya.”
“Anak-anak teater malah memilih kau, nak. Mereka malah bangga kalau seandainya kau mau gabung di drama ini.”
“Tapi beberapa bulan ke depan saya masih sibuk, bu. Program-program OSIS mulai minggu depan sudah harus jalan. Saya takut malah tidak bisa fokus di drama. Takutnya malah merusak pertunjukan.”
“Enggak, ibu jamin pasti enggak. Ibu nanti pasti akan bantu. Kalau perlu jadwal latihan kita di sesuaikan sama jadwalmu. Ok?” Ibu Silaban menarik tangan Adam memaksa untuk berjabat tangan. Guru-guru lain yang masih ada di ruang guru ikut mendukung ibu Silaban. Mereka membantu meyakinkan Adam bahwa peran itu sangat cocok untuknya.
....
“Padahal bulan Agustus masih lama. Udah sibuk aja bu Gempal.” Bownie menggerutu mewakili isi hati Adam yang masih sibuk berkutat dengan berkas-berkas kegiatan OSIS. Seperti biasa mereka berkumpul di kantin membahas banyak hal.
Beberapa hari setelah dilantik, Adam sudah super sibuk Apalagi dengan akan diadakannya PENSI Agustusan. Untuk pertamakalinya sekolah mengadakan Pensi besar. Sebelumnya hanya kegiatan makan-makan di lapangan sekolah.