Aku menggapai mata hati
Mencari-cari di mana sebenarnya ketetapan hati berada
Samar-samar harum cinta menyeruak masuk
Relung jiwa tak ada sisa
Sudah tidak bisa terbendung lagi
Rasa bersemarak di kalbu
Menyesap sampai ke celah-celah
Hanya sebentar
Hanya sekilas saja dia ada di hadapan
Lalu tunas-tunas yang dulu tumpul
Kini tumbuh menembus tanah memamerkan dahan-dahan dan ranting-ranting
Memamerkan daun-daun
Memamerkan bunga berwarna warni dalam satu tangkai
Dalam sekejap saja semua terjadi
Dalam sekejap saja hati sudah berubah haluan
Dalam sekejap saja udara sudah kembali sesak
Di mana sebenarnya ketetapan hati berada?
“Akh...Adaaam.” kesal adam menyebut namanya sendiri. Sementara tangannya mengacak-acak rambut.
30 menit sebelum rapat Pensi dimulai, di ruang rapat OSIS yang masih kosong, Adam merobek-robek kertas berisi puisi yang baru saja dia rangkai. Sudah banyak hari berlalu masih saja bayang-bayang Andrewi muncul. Bagaimana waktu di kantin itu dia gugup, polos tersenyum malu-malu, cara berbicara, suara dan semua gerakan Andrewi terbayang-bayang.
Adam menyentuh dadanya. Detak itu nyata terasa kembali. Ada di dalam sana. Di dalam dada saling berpacu menyebutkan nama Andrewi. Mereka tidak mau lagi diredam dan tidak mau lagi dihambat. Suara-suara itu ingin melihat Andrewi agar bisa tenang. Mereka ingin mendengar suara Andrewi agar tentram.
Kesibukan Adam sebagai ketua OSIS, les persiapan UN sampai mengurus Pensi 17 Agustusan tenggelamkan fisiknya. Namun anehnya tidak dengan sisi lain pikirannya yang terus gaungkan nama Andrewi. Bukannya mencari cara agar David dan Andrewi bisa dekat, Adam malah sibuk mencari cara agar nama gadis itu tidak muncul lagi di dalam benaknya.
Betapa rasa bersalah selalu muncul ketika berkumpul dengan teman-temannya, terlebih pada Dani dan David. Setidaknya, ada Bownie dan Issano membantu jauhkan Dani dari Andrewi. Sedangkan Adam berharap agar semua kegiatan-kegiatan di sekolah dan di luar sekolah bisa jadi penolong.
“Sore, kak Adam.”
“Selamat sore, Dam.”
Kristina sekretaris OSIS dan Amelia asisten ibu Silaban alias Bu Gempal menyapa Adam bersamaan. “Sore,” jawab Adam singkat.
Wajah Adam berubah serius, tamengnya aktif kembali. Diam-diam buku agenda dia simpan ke dalam tas lalu kembali berpura-pura sibuk menulisi kertas dalam map. Amelia dan Kristina tidak berani berbasa-basi setelah mendapat jawaban singkat dan wajah serius. Mereka memilih berkutat dengan kesibukan masing-masing agar tidak semakin salah tingkah.
“Maaf, Dam. Bisa mengganggu waktunya sebentar?” Amelia memecah kehengingan.
“Ya?”
“Tadi ibu Silaban titip pesan. Kira-kira kamu setuju tidak, kalau pemeran Putri Lopiannya bukan siswa yang populer?”
Adam berpikir sebentar mencoba mencerna arti dari pertanyaan itu. “Bukan siswa populer? Maksudnya?”