“Selamat siang teman-teman.”
“Selamat siaaang.”
“Perkenalkan nama saya Adam Witjaksono. Saya berperan sebagai Raja Sisingamangaraja.”
Peserta drama bertepuk tangan gemuruh. Pilihan bu Silaban memilih Adam sebagai Raja Sisingamangaraja sudah sangat tepat sekali untuk mereka.
“Siang semua.”
“Siaaaang.”
“Perkenalkan nama saya Mefia Andrewi. Saya berperan sebagai Putri Lopian.”
Hanya tepuk tangan saja yang terdengar tanpa gemuruh-gemuruh megah seperti yang didapatkan Adam tadi. Di sudut ruangan, David satu-satunya yang paling semangat menepukkan kedua tangan kepada Andrewi. Dia berusaha menerbangkan semua kupu-kupu yang bermain-main di dalam perutnya, berharap Andrewi mendapatkan persembahan khusus tak terlihat itu.
Pemeran-pemeran utama diundang ke depan terlebih dahulu dan memperkenalkan diri. Adam seketika merasakan energinya terserap menghilang, ketika Andrewi bangkit dari tempat duduk, lalu berdiri di sampingnya yang kebetulan masih kosong. Begitu Andrewi memperkenalkan diri, seluruh dunia serasa ikut menekan-nekan dada. Hanya perkenalan beberapa detik saja padahal. Kalau saja Adam tidak sadar ada David di sana, dia mungkin saja sudah menghindar lalu berdiri di ujung barisan lain.
Tangan Adam bertaut di belakang mengepal gelisah. Apalagi jarak mereka berdua agak berjauhan dengan pemeran utama lainnya, yang ada di sisi kanan sana. Lebih tepatnya, hanya mereka berdua yang berdiri di sisi kiri. Tidak sedikit pun Adam mampu menoleh. Dia memaksa fokusnya tetap terpaku pada ibu Silaban, yang sibuk menjelaskan garis besar peran para pemeran utama. Meski tetap saja tidak ada satu pun huruf yang bertahan di pikiran.
Tekanan tingkat tinggi itu belum berakhir. Malah tambah kacau, saat ibu Silaban menyuruh mereka berdua duduk bersama, agar dapat saling mengenal dan mulai membangun chemistry. Kepala sudah penuh badai topan, tidak akan ada lagi chemistry, pikir Adam. Malahan yang dia butuhkan saat ini adalah tim penyelamat bencana, untuk mengungsikan seluruh organ-organ tubuh. Otak dan hatinya sudah porak-poranda menahan badai gemuruh.
Terhempaslah semua, tidak berbentuk lagi, begitu mereka duduk dan Andrewi mengajaknya berkenalan. Sudah tidak ada lagi darah yang berani mengalir ke wajah Adam dan tangan yang saling berjabat. Kelenjer keringat mengaga lebar. Bagi Adam, berhari-hari tidur larut malam mereview laporan-laporan program dan kegiatan OSIS, jauh lebih baik dari pada ini. Meski tidak tidur sekalipun, itu sungguh jauh lebih baik.
“Kak Adam, kawanku ada yang ngefans sama kakak.” Logat Andrewi yang berbeda dengan logat warga asli Sidikalang, serta nada cerianya, bagai angin segar untuk Adam. Perpaduan lucu yang bantu kurangi gemuruh badai.
“Siapa?”
“Namanya Shaniar. Aku nggak menyangka bisa bertemu kakak di sini. Padahal kami sudah beberapa kali mau datang ke kelas kakak, minta tanda tangan dan foto bareng.”
“Oh.” Adam manggut-manggut kaku.
“Tapi karena kami lihat kakak sibuk terus ke sana ke mari, kami jadi nggak tega. Takut malah jadi ganggu kakak.”
“Hm.”
“Hehe...” Andrewi menyesali ceplas-ceplosnya melihat reaksi singkat Adam. Dia segera mengalihkan perhatian ke depan mengikuti pandangan Adam. Di sana ada murid laki-laki berlesung pipi, yang beberapa kali pernah berpapasan dengannya dan Shaniar. Dia berdiri menunduk gelisah. Walau tidak mengenalnya tapi sosok itu terasa akrab, bagai tidak asing.
“Selamat siang, perkenalkan nama saya David Ginandjar Bara. Saya berperan sebagai tentara Belanda.”
Riuh rendah murid-murid perempuan di kursi belakang membuat Andrewi menoleh kesal. Di sana ada banyak murid perempuan yang bersahut-sahutan menggoda David. Secara keseluruhan David memang menarik, tapi tidak harus seperti itu cara mengungkapkannya, pikir Andrewi.
Sesi berikutnya, ibu Silaban menjelaskan secara garis besar alur-alur naskah drama, juga mempertegas aturan-aturan selama latihan. Tidak lupa dia menatap tajam pada Andrewi dan menyindir ulahnya di lapangan sekolah. Adam mengernyitkan dahi karena tidak mengerti apa maksud perkataan bu Silaban, sekaligus iba karena sindiran itu membuat Andrewi tertunduk malu tidak berani mengangkat wajah.
Latihan akhirnya ditutup dengan satu harapan ibu Silaban untuk kesuksesan drama, dan mampu meninggalkan kesan yang mendalam bagi penonton.
“Yang lain boleh pulang aja, tapi Adam dan Andrewi jangan pulang dulu. Selain perjuangan melawan penjajah, drama kita ini nantinya juga akan banyak membahas, bagaimana kasih sayang Raja Sisingamangaraja pada anak perempuannya, Putri Lopian. Bagaimana sedihnya Raja begitu Putri Lopian gugur ditembak tentara Belanda. Jadi kalian berdua tolong diskusikan sebentar naskah kalian, ya. Proporsi dialog kalian termasuk yang paling banyak, dibanding dialog pemeran lain. Ibu berharap kalian juga benar-benar bisa membangun chemistry, seperti yang ibu bilang tadi.”
“Baik, bu.” Adam dan Drewi menyahut bersamaan.
Sementara murid-murid lain bubar dan pulang, mereka berdua terdiam bengong tidak tahu harus memulai dari mana. Andrewi dengan kikuk karena balasan dingin Adam tadi dan tentu saja Adam yang tidak bisa bergerak barang sedikit pun. Takut-takut malah dia melakukan sesuatu kesalahan yang memalukan.
“Kak Adam suka bikin puisi?”
“Ya?” detak jantung Adam kembali terguncang. Dari mana Andrewi tahu hobbi yang selama ini dia tutup-tutupi? Jangan sampai Andrewi tahu bahwa namanya ada dalam beberapa puisi yang dia buat.
Di sisi lain, Andrewi malah senang karena akhirnya bisa mencairkan suasana. “Ini.” Adam memperhatikan kertas yang terjulur di depannya. “Tadi jatuh waktu kakak buka buku.”
Mampus, hatinya merutuk. Harusnya dia tidak membawa agenda itu. Harusnya dia membawa proposal yang akan diberikan ke pihak sponsor kegiatan Pensi, untuk diriview oleh kepala sekolah terlebih dahulu. Pelan-pelan Adam menutup buku agenda. “Itu bukan punyaku,” ucapnya datar.
“Tapi ini ada nama kakak di bawah judul puisinya.”
“Mana?” Dengan panik Adam mengambil kertas, dan terteralah nama lengkapnya di bawah puisi. Persis seperti yang dikatakan Andrewi.
“Puisi kakak bagus. Diksi dan majasnya keren.”
Masih tetap membaca puisi berharap tak ada nama Andrewi di dalamnya, Adam kembali membeku atas pujian Andrewi.
“Cewe yang kakak sukai itu pasti akan sangat senang kalau tahu kakak bikin puisi buat dia.”
“Ini untukmu, Andrewi,” teriak Adam di dalam hatinya. “Ini pesanan orang. Bukan untuk cewe yang kusukai,” ucap mulutnya berbanding terbalik.
“Oooo...kakak menerima pesanan puisi? Aku bisa pesan juga nggak, kak?”
“Memangnya kamu pikir ini makanan, maka harus dipesan-pesan?”
“Hehe...siapa tahu bisa. Kalau nggak bisa juga nggak apa-apa, kak.” Andrewi kembali meredam ceplas-ceplosnya setelah Adam membalas jutek. Padahal Andrewi hanya berusaha ingin membangun chemistry seperti permintaan bu Silaban.
“Kamu mau puisi tentang apa?”
“Serius bisa, kak?”
“Iya, cepat, kamu mau puisi tentang apa? Aku masih ada urusan setelah ini.”